Selasa, 13 Desember 2011

MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN PADA ERA OTONOMI DAERAH

MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN PADA ERA OTONOMI DAERAH





Oleh
Sudharto






DISAMPAIKAN DALAM RANGKA SEMINAR MENYONGSONG DIES NATALIS KE-30 YANG DISELENGGARAKAN OLEH PROGRAM PASCA SARJANA IKIP PGRISEMARANG
TANGGAL 12 JULI 2011 DI KAMPUS IKIP PGRI SEMARANG

MENCARI FORMAT BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN PADA ERA OTONOMI DAERAH


A.PENDAHULUAN
Sesuai dengan kodrat kemanusiaannya setiap bangsa ternyata hampir tidak pernah mengalami keberhasilan dalam menyelesaikan masalah tanpa bantuan bangsa lain. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia menjadi sebuah desa besar. Penghuni di dalamnnya yaitu negara bangsa semakin erat kebersamaanya, semakin kuat kerjasamanya. Mereka memiliki ketergantungan satu sama lain karena setiap bangsa memiliki keuatan sekaligus kelemahan. Pluralitas mereka, perbedaan latar belakang kebangsaannya seperti etnik, primordial, sejarah, kondisi geografik, budaya, bahasa dan lain-lain tidak berpengaruh dalam membangun kebersamaan, mengatasi masalah (Anwar, M. Syafii, 2006: 1-3). Demikian juga halnya ketika bangsa itu menghadapi permasalahan di bidang pendidikan.
Dengan demikian permasalahan pendidikan di Indonesia juga bukan hanya merupakan persoalan bangsa Indonesia sendiri tetapi juga menjadi bagian dari permasalahan bangsa lain, bahkan permasalahan dunia. Pada tahun 1948, tiga tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Universal Declaration of Human Right menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi setiap Warga Negara, tentu saja termasuk Warga Negara Indonesia. Dalam kontek komitmen global United Nation’s Convention on the Rights of the Child tahun 1989 menetapkan juga bahwa pendidikan merupakan hak setiap anak. Lebih dari itu pendidikan sebagai pelayanan public (public service) telah menjadi agenda dunia. Masyarakat global menaruh perhatian serius apakah pendidikan telah menjadi fokus aktivitas Pemerintah di setiap negara karena pada dasarnya setiap pelayanan publik merupakan fungsi yang dipegang dan menjadi tanggung jawab Pemerintah baik pusat maupun daerah. Hak dasar pendidikan khususnya pendidikan dasar bagi masyarakat global juga menjadi salah satu tujuan dari 8 tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDG’s) yaitu mencapai pendidikan dasar untuk semua. MDG’s merupakan kesepakatan dari 189 negara termasuk Indonesia untuk menghapus kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan di dunia selambat-lambatnya pada tanggal 2015.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka implikasi sistem pendidikan nasional tidak semestinya dipersepsi dan dilaksanakan sebagai tugas reguler, tugas rutin, tetapi harus menjadi prioritas dan harus dirancang dan dikelola secara progresif dan berbasis pada kesetaraan kesempatan (DPD RI,2008).
UU Otonomi Daerah yang telah berjalan sejak tahun 1999 menentukan bahwa pendidikan menjadi urusan wajib Pemerintah Kabupaten/ Kota. Walaupun sudah 12 tahun pelaksanaan sistem otonomi daerah sampai saat ini belum sesuai dengan hakekat dan tujuan otonomi daerah itu sendiri. Pada saat yang sama sistem politik yang diterapkan bukan saja membuat partai politik menjadi kendaraan untuk memperoleh kekuasaan dan penghidupan bagi para pengurus dan elit partainya, melainkan juga masyarkat masihbelum paham benar makna demokrasi. Semua itu terkait dengan  tingkat pendidikan bangsa Indonesia yang secara nasional baru mengenyam jenjang pendidikan dasar. Dalam kondisi seperti ini visi pendidikan seharusnya menitik beratkan kepada kualitas akademik dengan titik berat pada kualitas manusia untuk memenangkan pertarungan global. UU harus lebih menjelaskan bagaimana cara mencapainya (How to achieve) bukan lagi sekadar mendiskripkan apa yang hendak dicapai (What to achieve).
Masalah kualitas tersebut di atas menjadi lebih penting untuk menghadapi sejumlah tantangan. Hadapi tantangan global seperti: persaingan yang semakin ketat, penggunaan teknologi informasi dalam hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, perdagangan bebas, peningkatan kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam hidup bersama, juga meningkatnya kesadaran untuk menerapkan demokrasi (Idrus Ali, 2009: 47). Di samping itu ekonomi sebagai aspek kehidupan manusia yang paling mendasar akan mengalami wajah baru dengan munculnya bentuk-bentuk sarana baru seperti: tenaga-tenaga virtual, internet working, hilangnya intermediasi dalam dunia perdagangan karena munculnya jaringan digital. Dalam rangka menghadapi tantangan tersebut kualitas manusia Indonesia yang diperlukan adalah: kreativitas, produktivitas, kompetitif (Tilaar, H. R, 2000: 261) ditambah dengan penguasaan teknologi informasi yang memadai. Untuk itu kebijakan pendidikan harus diarahkan  dan dilaksanakan dengan konsisten  melalui pendekatan dan metode yang tepat agar kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan emosionalnya berkembang optimal. Manusia yang cerdas dan berwatak itulah target pendidikan kita. Hal ini sejalan dengan pendapat Mochtar Buchori yang menyatakan bahwaorientasi sekolah harus berubah dariterfokus pada pengembangan kemampuan intelektual menjadi terfokus pada pengembangan simultan kedua kemampuan peserta didik yaitu kemampuan intelektual dan kepekaan normative. Kepekaan normative mencakup kesadaran tentang makna nilai dan tata nilai,yaitu: kepekaan estetik,kepekaan etik dan kepekaan sosial atau synnoetics  (Buchori, Muchtar, 2000: 250-251). Konsepsi ini diperkuat oleh konsep pendidikan holistic yaitu pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara seimbang. Operasional konsep ini dapat menggunakan konsep DAP (Developmentally Apropriate Practices) yang dimotori oleh Sue Bredekamp yaitu pendidikan yang tepat sesuai dengan perkembangan anak. DAP didukung oleh Teori Kecerdqasan Majemuk (Multiple Intelligences) menurut Howard Gardner. Ada 9 (Sembilan) aspek kecerdasan manusia menurut Gardner yaitu: picture smart, people smart, body smart, word smart,self smart, sound smart, nature smart, number smart, dan spiritual smart (Megawangi,R,2007:28-31). Studi Stephen P. Robbin pakar perilaku organisasi dai Universitas San Diego menemukan bahwa orang-orang yang berprestasi tinggi ternyata kebanyakan bukan yang ber IQ tinggi tetapi justru yang ber EI tinggi. EI (Emotional Intelligence) merupakan berbagai ketrampilan, kemampuan dengan kompetensi yang memepengaruhi kesanggupan seseorang untuk sukses menghadapi tuntutan dan tantangan lingkungannya. EI memiliki 5 (lima) dimensi yaitu: self awareness, self management, self motivation, emphty, social skill (Robbins, S. P, 2007: 109).
Proses pendidikan yang mampu menyiapkan SDM dengan indikator kualitas sebagaimana tersebut di atas hanya bisa terjadi jika kita dapat memilih format pengelolaan pendidikan yang tepat. Namun demikian aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya perlu juga memperoleh perhatian karena aktifitas pendidikan dengan segala komponennya tidak berada di ruang vakum. Sistem politik, ideologi, pandangan hidup bangsa, keamanan dan ketertiban bangsa, kerukunan sosial adalah sejumlah faktor yang sangat berpengaruh.

B.DAYA SAING BANGSA
Rumusan tema seminar oleh para pelaku operasional pendidikan dan para manajer lapangan nampak sekali bertolak dari kondisi riel di lapangan yang sekaligus menggambarkan kerisauan mereka yaitu apakah pengelolaan pendidikan dalam sistem otonomi daerah mampu menghasilkan keluaran yang berdaya saing.Mari kita cermati perkembangan daya saing kita.
Menurut WEF (World Economic Forum), daya saing suatu negara merupakan fungsi kemampuan negara tersebut untuk menjaga secara berkelanjutan akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Parameter dan indikator dari GCR (Global Competitiveness Report) adalah kualitas kebijakan, kelembagaan dan karateristik ekonomi lain, seperti infrastruktur dan birolkrasi yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Indeks yang dihasilkan oleh lembaga ini mencerminkan ranking tiap-tiap negara terkait dengan iklim usaha (bussines climate).
Berdasarkan IMD World Competitiveness Index Yearbook 2009, peringkat daya saing Indonesia meningkat dari 51 di tahun 2008 menjadi 42 di tahun 2009. Indonesia mendapatkan nilai 55,47. Namun, peringkat ini masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, seperti Singapura (dengan skor 95,74 dan menempati peringkat 3 dunia), Malaysia berada di peringkat 18 dan Thailand di posisi 26.
Sementara itu, indeks daya saing industry teknologi informasi (TI) yang dilakukan oleh Economist Intelligent Unit (EIU) dengan membandingkan perkembangan TI di 66 negara menunujukkan masih lemahnya TI di Indonesia. Peringkat Indonesia di tahun 2009 adalah 59, jauh di bawah Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Beberapa parameter untuk mengavaluasi daya saing adalah kesediaan sumber daya manusia yang terampil, budaya yang mendukung inovasi, infrastruktur teknologi berstandar internasional, perlindungan kekayaan intelektual (property-right), ekonomi yang kuat dan stabil serta kepemimpinan yang kuat untuk menyeimbangkan antara promosi teknologi dan pasar.
Sementara ini, dalam laporan Doing Bussniness 2010 yang dikeluarkan oleh International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia yang mengevaluasi daya saing diseluruh dunia menghasilkan Indonesia menempati ranking ke-122 dari 183 tentang kemudahan melakukan bisnis. Selain itu, ranking daya saing juga dilakukan secara lebih detail. Peringkat kemudahan untuk memulai usaha di Indonesia cukup rendah, yaitu berada di peringkat ke-166 dunia. Sementara beberapa negara tetangga, seperti Singapura (4), Thailand (55), Malaysia (88) dan China (18) (mertodaily.com).
The Global Competitiveness Report  terbaru (2010-2011) yang dikeluarkan oleh Forum Ekonomi Dunia menunjukkan peringkat indeks daya saing Indonesia naik tajam. Pada tahun 2009-2010 daya saing Indonesia berada pada urutan ke-54 dari 139 negara yang disurvei, sedangkan 2010-2011 berada pada urutan ke-44. Basis penilaian daya saing adalah 12 pilar tiga bagian: basic requirements, efficiency enhancers, dan innovation and sophistication factors. Kelompok basic requirement yang meliputi: institutions, infrastructure, macroeconomic environment, dan health and primary education-dipandang sebagai kunci bagi factor-driven.
Sayangnya loncatan itu masih menyisakan kerisauan karena di kelompok basic requirements peringkat Indonesia berada diurutan ke-60. Sementara di kelompok efficiency enhancers berada di urutan ke-51. Peningkatan daya saing Indonesia tidak terlepas dari keterpurukan banyak negara terutama Eropa akibat krisis global 2008. Forum Ekonomi Dunia mencatat hasil survey daya saing yang sejalan dengan versinya  International Institute for Management Development (IMD) yang mencatat kenaikan tajam dalam dua tahun terakhir. Dari 58 negara yang disurvei pada tahun 2010 menduduki urutan ke-35, sedangkan pada tahu 2009 menduduki urutan ke-42 sementara pada tahun 2008 menduduki peringkat ke-51. Namun demikian di antara negara-negara Asia, posisi kita masih tercecer. Taiwan dan Malaysia menikmati lonjakan spektakuler, masing-masing dari posisi ke-23 ke posisi ke-8 dan dari ke-18 ke posisi ke-10. Negara Asia lain yang naik peringkat adalah China (dari ke-20 ke posisi ke-18) dan Korea (dari ke-27 ke posisi ke-23) (Agus Mujab, Google, 2010).
Nampak bahwa peningkatan daya saing Indonesia dua tahun terakhir  belum mampu mengejar negara –negara lain termasuk negara-negara kawasan Asia.

Kondisi bangsa
Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup: 1) filosofi pendidikan yang dianut, visi, misi, strategi tercantum dalam UU No. 20; 2) delapan komponen sebagaimana ditetapkan melalui PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yaitu: standar isi kurikulum, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Semantara itu faktor eksternal mencakup sistem pemerintahan,politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Apabila semua sistem ini berjalan sesuai dengan yang seharusnya maka fungsi pendidikan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berdaya saing diyakini akan berhasil dengan baik. Tetapi jika sistem tersebut tidak berjalan “on the right track” sumberdaya manusia kita akan semakin tertinggal.Begitu menriknya Indonesia menjadi negara tujuan investor, dipastikan Indonesia akan dibanjiri tenaga kerja dari luar negeri. Karena rendahnya kualitas manusia Indonesia, kelak tidak mustahil menjadi tuan rumah di negaranya sendiri pun tidak mampu.
Paparan kondisi bangsa berikut ini dimaksudkan untuk mengingatkan para pendidik cepat bertindak kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan sebagaimana sehingga.
1.    Krisis Nasional dan rendahnya kinerja Birokrasi
Sudah belasan tahun gerakan reformasi berjalan. Namun gerakan tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa bagi kesejahteraan,dan keadilan rakyat. Jumlah penduduk miskin masih bertengger pada angka 34 juta lebih, PHK terus mengancam, utang luar negeri membengkak seiring dengan membengkaknya korupsi, partai politik lebih banyak membuat hiruk pikuk politik dari pada menyelesaikan derita rakyat, nasionalisme yang meluntur tak tertahan, beragam mafia melanda, penegakan hukum nyaris runtuh, semuanya mengindikasikan bangsa kita ditelikung oleh multikrisis nasional. Sejumlah agenda reformasi yang diharapkan rakyat mendatangkan kesejahteraan dan keadilan membebaskan rakyat dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan macet. Yang akselerasinya meningkat adalah lunturnya kebersamaan, merosotnya kepedulian sosial, ketidakjujuran, anarkhisme, brutalisme dan vandalisme serta KKN (Sudhato, 2011: 9). Tidak perrlu heran kalau hasil survey PERC (Political and Economic Risk Consultancy) mencatat tahu 2010 Indonesia merupakan negara paling korup di Asia,dengan angka 9,07 dari angka terburuk 10.Angka ini meningkat dari 7,69 pada tahun 2009 (Reuters news.yahoo.com)
2.     Praktik Demokrasi
a.    Gerakan reformasi tahun 1998 melahirkan semangat kelompok yang eksklusif mengabaikan eksistensi kelompok lain. Fenomena ini selanjutnya menimbulkan berbagai wabah, seperti kekerasan, pemaksaan kehendak, konflik, arogansi, rekrutmen politik yang berbasis KKN, politik transaksional, menjamurnya partai massa, sulitnya koordinasi antar berbagai lembaga pemerintah dan antar masing-masing pemerintah daerah, dan lain-lain. Kekisruhan politik menguras potensi dan perhatian masyarakat untuk hal-hal yang tidak terkait dengan kesejahteraan rakyat. Akhirnya tiga prinsip dasar demokrasi seperti : pertama, tegaknya etika dan moralitas politik; kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme dan kepatuhan terhadap supremasi hukum dalam masyarakat; ketiga, diberlakukan dan dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik menjadi terabaikan (Agustinus, Leo 2007: 85-86).
b.  Rekrutmen politik yang  tidak berbasis karier politik, mengakibatkan para elit politik tidak menghayati hakekat demokrasi. Para anggota badan legialatif belum mampu menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya. Karenanya anggota dewan lebih sering menjadi sumber masalah dan sumber konflik, dari pada menjadi ”problem solver”.
c.  Muara dari semua sikap elit politik dan partisipasi politik adalah kebebasan bertanggung jawab setiap individu insant politik kapanpun dan dimanapun (Rush, Michael 2007: 110-112). Telah menjadi rahasia umum bahwa kebebasan bertanggung jawab sebagai sikap kunci dalam berdemokrasi yang beradab dan berkualitas sangat tidak dipahami, dihayati, apalagi diamalkan oleh para elite politik.
d.  Sistem Multi Partai
Undang-undang tentang partai politik melahirkan banyak partai yang umumnya tidak berbasis kader (Agustinus, Leo 2007: 85). Hampir semua partai adalah partai massa, partai berlatar belakang agama, etnis dan primordial yang lain. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap-sikap arogan, rendahnya kepekaan terhadap derita rakyat, penyalahgunaan sumber daya politik, penyalahgunaan kekuasaan, tidak efektifnya komunikasi antara elite partai dengan anggotanya yang ke semuanya membuat permasalahan rakyat kecil jarang terselesaikan dengan memuaskan (Sudharto, 2011: 12). Sistem multi partai ini mengakibatkan biaya ekonomi serta biaya sosial yang sangat tinggi melampaui batas kemampuan rakyat.
3.   Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Secara konstitusional pemerintah wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Upaya membangun masyarakat madani (civil society) tanpa perencanaan yang matang mengakibatkan kemampuan pemerintah menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tentram dengan memikulkan beban itu kepada jajaran kepolisian ternyata jauh dari yang seharusnya. Lembaga kepolisian tidak mampu berbuat banyak ketika harus berhadapan dengan euforia reformasi yang menonjolkan tindak-tindak kekerasan, brutalisme, dan fandalisme. Akibat rakyat juga yang lebih sering menjadi korban kebrutalannya sendiri  (Sudharto, 2011: 12).

4.  Sistem Otonomi daerah
Kesiapan sumber daya manusia termasuk kematangan moral politik para pemimpin bangsa yang belum memadai mengakibatkan pemahaman terhadap maksud dan tujuan serta hakikat otonomi daerah jauh dari pada yang seharusnya. Otonomi daerah melahirkan raja-raja kecil di kabupaten dan kota yang dalam kebijakannya lebih sering bukan saja bertentangan merugikan rakyat kecil. Penggunaan anggaran daerah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat bahkan terjadi penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindakan perampokan uang rakyat. Fenomena negatif lain misalnya munculnya arogansi daerah dalam bentuk berbagai pembangkangan terhadap kebijakan tingkat pemerintahan diatasnya, lahirnya PERDA yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya, bahkan bersifat diskriminatif dengan melanggar HAM politisasi pendidikan dan guru, terhambatnya realisasi hak-hak guru, politik pencitraan, , peraturan yang melanggar hak asasi manusia, eksplorasi sumberdaya alam yang mengancam lestarinya lingkungan alam, pembinaan sumber daya manusia dan pejabat di daerah yang syarat kepentingan politik yang pada gilirannya mengembangkan sikap apatisme di kalangan PNS di daerah. Pengawasan menjadi tidak efektif bahkan tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya oleh karena para kepala daerah memandang kekuasaannya sebagai sesuatu yang absolut. Menurut mereka tidak ada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi yang berwewenang mengendalikan dan meminta pertanggungjawaban atas kebijakan para kepala daerah kecuali rakyat yang secara langsung memilih mereka (Sudharto, 2011: 14).

C.FORMAT PELAKSANAAN PENDIDIKAN SAAT INI
Menggaris bawahi dengan melengkapi yang ada dalam TOR seminar, itu disajikan peta permasalahan pendidikan pada era otonomi daerah untuk ditemukan solusi praktisnya.
Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik melalui Undang-undang tentang pemerintah daerah menetapkan bahwa pendidikan menjadi urusan wajib bagi pemerintah kabupaten dan kota. Di lapangan sesungguhnya para guru kepala sekolah, dan tenaga kependidikan lain mengalami kegoncangan cukup mengganggu kinerja pendidikan.Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, berbagai perubahan dalam rangka penyesuaian sistem pendidikan nasional menururt Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 dengan Undang-Undang Nomor 22 thun 1999 tentang pemerintah belum dipahami benar. Adaptasi terhadap kepemimpinan pendidikan pada level kabupaten dan kota serta propinsi belum tuntas masih dalam proses konsolidasi. Birokrasi baru yang sedang mencari bentuk mengakibatkan proses pendidikan berjalan tanpa supervisi yang memadai, formalistik, rekayasa dalam berprestasi. Kedua, program-program yang selama ini berlangsung dalam rangka manajemen mutu berbasis sekoalah belum cukup dipahami dan membawa perubahan suasana pembelajaran karena memang cakupan dan targetnya luas dan rumirt terpaksa harus berhenti. Di antaranya; pemahaman kurikulum berbasis kompetensi, peningkatan mutu pembelajaran melalui pendekatan–pendekatan yang tepat, pemanfaatan IT, kegiatan dalam peningkatan mutu guru, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan Komite Sekolah dan Dewan pendidikan.
1.    Kondisi komponen sistem pendidikan nasional pada sebagian besar  satuan pandidikan di negara kita belum seperti yang seharusnya, sebagaimana ditentukan dalam PP No. 9 Tahun 2005 dengan seluruh peraturan pelaksanaannya. Beberapa diantaranya gedung sekolah, ruang kelas, ruang praktik, laboratorium, perpustakaan, lapangan olah raga, sarana berkesenian, lingkungan sekolah, anggaran, dan lain-lain.
2.    Pemerintah sampai saat ini terbukti belum melaksanakan pendidikan layanan khusus dengan baik, bahkan kebijakannya mengusik rasa keadilan masyarakat. Kementerian Pendidikan Nasional belum mampu memenuhi hak untuk memperoleh pendidikan bermutu bagi anak usia sekolah di daerah terpencil atau terbelakang; daerah kepulauan; masyarakat adat terpencil; mereka yang tidak mampu dari segi ekonomi serta mereka yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan/atau sosial. Pemerintah lebih mengutamakan program bagi mereka yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Layanan pada mereka jauh lebih baik daripada layanan kepada mereka yang memiliki keterbatasan.
3.    Pada era otonomi daerah ada juga permasalahan yang muncul karena kebijakan pemerintah pusat atau karena ketidakpatuhan terhadap UU No. 20 Tahun 2003. Kebijakan tentang ujian nasional dalam 5 (lima) tahun terakhir ini ternyata telah merusak budaya sekolah, menimbulkan disharmoni di antara para guru, serta menyuburkan sikap dan perilaku tidak pantas, baik dilakukan peserta didik, guru, maupun orang tua, sekolah berubah menjadi layaknya lembaga kursus atau bimbingan test. Perilaku tidak pantas itu, misalnya upaya mencari bocoran soal, rekayasa model pengawasan dan penyiasatan tempat duduk anak yang memungkinkan para siswa bisa bekerja sama atau mencontek, upaya guru memberikan jawaban melalui berbagai macam media, berbagai kecurangan yang sistemik dan massif, dan pembentukan tim sukses yang menghalalkan segala cara sebagai tindak lanjut  semangat kepala daerah untuk memperoleh penghargaan kesuksesan ujian nasional.
4.    Sistem pengembangan kurikulum dengan model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengakibatkan sulitnya guru  mengelola proses pembelajaran yang menyenangkan. Pengelolaan mata pelajaran berdasarkan  kategori tertentu  membuat proses pendidikan tidak integrative antara penguasaan akademik dan moralitas; tidak ada keseimbangan antara  kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial. Instrumen KTSP menyebabkan guru lebih menitikberatkan pada pengajaran aspek kognitif, yaitu faktor hafalan dan ingatan. Tidak ada pelatihan dan pembiasaan yang menghasilkan  keterampilan, kreativitas, dan sikap kemandirian anak didik. KTSP ini tidak disiapkan dengan baik. Karena sosialisasi yang tidak cepat, KTSP menjadi kontra produktif, juga tidak membuat guru mandiri, kreatifitas profesional.
5.    Desentralisasi pendidikan dalam wadah otonomi daerah masih menimbulkan persoalan yang mengganggu bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional karena persepsi dan pemahaman yang tidak tepat terhadap makna  dan tujuan otonomi itu sendiri. Orientasi pejabat di  daerah  lebih berat difokuskan pada kekuasaan, bukan pada pelayanan kepada masyarakat. Para kepala daerah sulit untuk  melakukan kerja sama dalam memecahkan permasalahan daerah. Perencanaan, koordinasi, dan pemberdayaan yang terkait dengan  komponen mutu pendidikan seperti guru dan tenaga kependidikan lain, sarana prasarana, anggaran, serta pemberdayaan masyarakat menjadi kendala dalam menunjang proses pendidikan yang bermutu. Pemerintah Kabupaten/ Kota lebih menunjang tafsir laku terhadap peraturan tanpa melihat kebutuhan riil sekolah. Politik pencitraan menjadi wabah di daerah. Politisasi pendidikan dan guru dan terbendung dan menimbulkan kerisauan dan apatisme. Peran gubenur sebagai pejabat pusat di daerah yang melaksanakan fungsi koordinasi dan pengawasan dalam berbagai kegiatan pembangunan di daerah belum efektif.
6.    Pendidikan harus di posisikan sebagai public service, sebagai pelayanan terhadap publik, bukan sebagai public goods, komoditas publik yang mengikuti hukum pasar dan berkembangnya pola-pola privatisasi dan komersialisasi. Untuk saat ini, pendidikan menjadi tanggung jawab  bersama antara Pemerintah, masyarakat, pemerintah daerah, dan orang tua sebagimana ketentuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah tidak boleh mengingkari kewajibannya untuk melaksanakan amanat UUD 1945 dengan sungguh-sungguh. Pemerintah daerah belum mengatur  secara adil dan proporsional tentang peran serta masyarakat dalam pendanaan pendidikan, termasuk belum berfungsinya komite sekolah ataupun dewan pendidikan dengan baik. Akibatnya, potensi masyarakat tidak dapat digali secara proporsional, bahkan peran serta masyarakat itu lebih banyak mengurangi hak-hak masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan yang bermutu bagi anak-anaknya.

D.PRAKONDISI FORMAT BARU
Pendidikan sebagai sub sistem dipengaruhi bahkan memiliki ketergantungan dengan sub sistem lain yang berlaku dalam sistem ketata negaraan sebuah bangsa. Sekurang-kurangnya ada tiga sub sistem yang potensial dapat mempengaruhi pengelolaan pendidikan di negara kita yang pada tahapan berikutnya akan mempengaruhi juga proses pendidikan di sekolah. Jika ketiga-tiganya berjalan dengan normal dalam arti sumber daya manusianya memahami status dan role nya serta bekerja secara profesional maka sub sistem pendidikan akan dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan efektif. Ketiga sub sistem itu adalah sub sistem pemerintahan, sub sistem politik, dan sub sistem sosial. Upaya apapun yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja pendidikan jika ketiga sub sistem tersebut tidak normal maka upaya itu akan mengalami kegagalan. Penyalahgunaan wewenang apapun latar belakang dan tujuannya, memasukkan kepentingan politik praktis, model pembinaan/ pengembangan yang tidak tepat akan merusak budaya organisasi sekolah. Rusaknya budaya sekolah akan mengakibatkan iklim sekolah terganggu dengan resiko berikutnya kualitas pembelajaran dan keluarannya bakal merosot. Beberapa prakondisi di bawah ini perlu diusahakan dengan segala daya/ kemampuan yang ada secara terpadu.
1.   Sub Sistem Politik
Produk legislasi serta pelaksanaan peran pengawasan perwakilan rakyat merupakan faktor yang sangat strategik. Kedua hal tersebut harus menjadi inti kerja lembaga perwakilan untuk memberikan jaminan kepada rakyat bahwa hak-hak konstitusional setiap warga negara dalam bidang pendidikan akan dapat direalisikan dan dinikmati secara adil. Hal ini penting karena menyangkut nasib dan masa depan bangsa Indonesia lebih-lebih menghadapi persaingan global. Seluruh elemen bangsa harus bersinergi dan bekerja keras agar bangsa Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.
Kualitas para wakil rakyat yang memiliki peran strategik tersebut sebenarnya bukan terletak pada latar belakang pendidikan dan karier sebelumnya. Kualitas mereka terletak pada komitmen sebagai wakil rakyat, bukan lagi wakil kelompok. Tingginya komitmen para wakil rakyat tersebut akan sangat mempengaruhi kinerja kelembagaan. Optimalnya kinerja lembaga perwakilan rakyat akan mendorong pengelola pendidikan baik pada tingkat makro, meso, maupun mikro untuk bekerja secara profesional, kreatif, dan inovatif.
2.   Sub Sistem Pemerintahan
Kinerja pemerintahan sebenarnya tidak tergantung pada sistem dan bentuk pemerintahan yang dianut: sentralistik, desentralistik, negara kesatuan, kerajaan ataupun sistem federasi. Kinerja pemerintahan sangat dipengaruhi oleh wajah dan kinerja birokrasi pemerintahan itu. Selain birokrasi pemerintahan harus terhindar dari berbagai tindakan yang tidak patut dan yang melanggar hukum, birokrasi pemerintahan wajib menggunakan prinsip-prinsip profesionalisme dengan konsisten dan pendekatan yang tepat. Satuan kerja pendidikan yang paling kecil yaitu sekolah merupakan organisasi kompleks dan unik berbeda dengan satuan-satuan kerja yang lain di luar pendidikan (Sumidjo, Wahjo, 2002: 133-137).
Karena karakteristiknya itulah sekolah tidak dapat diperlakukan sama dan sebangun dengan satuan kerja lain. Birokrasi pemerintahan pada aras manapun harus memahami, menghayati benar terhadap karakter sekolah tersebut. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi pemerintahan seharusnya digunakan adalah pendekatan pemberdayaan dan partisipasi, bukan pendekatan mobilisasi dengan model komando militeristik. 
3.   Peran Serta Masyarakat
Pembukaan UUD 1945 antara lain mengamanatkan bahwa pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk malindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal itu menunjukkan bahwa tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan kewajiban konstitusional pemerintah. Namun demikian rakyat sebagai salah satu komponen pokok sebuah negara perlu diberdayakan. Pemberdayaan rakyat di bidang pendidikan dilakukan sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya untuk hal-hal yang terkait dengan kebutuhan pendidikan. Pelibatan dunia industri dalam memajukan sekolah dapat menjadi salah satu bentuk peran serta masyarakat (Nurhadi, Mulyani. A dalam Suyanto, 2001: 162-164). Dalam hubungan ini perlu diingatkan jangan sampai terjadi karena politik pencitraan peran serta masyarakat dilarang padahal sekolah masih sangat membutuhkan. Perlu diingat bahwa peraturan perundang-undangan bukanlah kitab suci yang harus dilaksanakan dengan taklid.
4.   Perlunya Amandemen UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional banyak yang tidak sesuai dengan UUD 1945 baik Pembukaan maupun pasal-pasalnya. Visi pendidikan menurut UU ini perlu dirumuskan kembali lebih-lebih terkait dengan keinginan masyarakat akhir-akhir ini agar pendidikan nasional fokus pada mengembangkan karakter bangsa (nation and character building). Pendidikan nasional haru mengIndonesiakan peserta didik yaitu Warga Negara Indonesia yang nasionalis, cerdas, dan berwatak (Surakhmad Winarno, 2009: 181-187). Di samping itu prinsip keberagaman tidak deskriminatif, harus dikembangkan. Adalah pelanggaran konstitusional ketika prinsip kemitraan antara sekolah negeri dan sekolah swasta yang pernah menjadi prinsip penyelenggaraan pendidikan menurut UU No. 2 tahun 1989 saat ini dihapus.
5.   Mengelola Perubahan
Setiap perubahan akan mengalami sekurang-krangnya dua kendala pokok terutama dari mereka yang akan terlibat. Kendala itu adalah keengganan mengubah perilaku yang sudah mapan dan terjadinya perubahan yang hanya bersifat sementara. Lewin juga menyarankan tiga tahapan yang perlu ditempuh untuk menjamin keberhasilan perubahan yaitu tahap pencaira (tahapan sosialisasi perubahan), tahap pengubahan (pelatihan-pelatihan), tahap pembekuan (pola/ nilai baru diadopsi dalam organisasi). (Lewin Kurt, dalam Suyanto, 2000: 119-122).

E.ALTERNATIF FORMAT BARU
Terciptanya situasi kondusif dalam sub sistem politik pemerintahan dan peran serta masyarakat akan member peluang besar dipilihnya format-format baru sebagai alternatif yang tepat dalam pengelolaan pendidikan. Di samping itu amandemen UU No. 20 Tahun 2003. Serta tahapan-tahapan yang harus dilalui menjadi bagian tak terpisahkan dalam menciptakan pra kondisi format baru.
Beberapa alternatif secara garis besar untuk menjadi bahan diskusi dan rekomendasi seminar dapat dicermati berikut ini:
a.    Melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan, guna mengatur kembali urusan pendidikan yang akan diserahkan baik substansi isi maupun fungsi-fungsi manajemennya. Pilihan yang dapat ditawarkan antara lain:
1)   Urusan pendidikan sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat
2)   Urusan pendidikan sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Propinsi
3)   Sebagian urusan di bidang pendidikan menjadi wewenang Pemerintah Pusat (Kurikulum, guru dan tenaga kependidikan lain, buku), pengawasan administraif dan supervisi akademik menjadi wewenang Pemerintah Propinsi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/ Kota mengurus infrastruktur pendidikan (sarana pra sarana dan lingkungan sekolah).
b.    Memperbaiki kelemahan-kelemahan mendasar dari yang sudah berjalan selama ini. Dengan demikian urusan pendidikan tetap menjadi urusan wajib Pemerintah Kabupaten/ Kota. Untuk menghindari politisasi pendidikan dibuatlah MOU antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Propinsi dan/ atau Pemerintah Kabupaten/ Kota terutama terkait dengan pengelolaan guru. MOU ini selain mengikat sebaiknya juga mencantumkan sanksi yang membuat pemerintah daerah tidak memiliki keberanian untuk melakukan pelanggaran.









DAFTAR SUMBER

Anwar, Syafii. 2006. Islam dari Tantangan Pluralisme di Indonesia. Makalah. IAIN Wlisanga.
Buchori, Mochtar. 2000. Reformasi Pendidikan. Analisis CSIS Tahun XXIX/2000, No 3.
Idrus, Ali. 2009. Manajemen Pendidikan Global. Jakarta; Gaung Persada Press.  
Megawangi, R. dkk. 2007. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Yogyakarta; Indonesia Heritage Foundation.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior, Newjersey, Prentice Hall Internasional, Inc.
Sudharto. 2001. Permasalahan Bangsa Pasca Reformasi. Study Kasus, Tim Kajian DHD 45. Jateng.
Sumidjo,  Wahyo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja grafindo Persada.
Surakhmad, Winarno. 2009. Pendidikan Nasional-Strategi dan Tragedi. Jakarta: Buku Kompas.
Suyanto. 2000. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa.
Tilaar H.A.R. 2000. Pendidikan Abad ke-21 Menunjang Knowladge-Based Economy, Analisis CSIS Tahun XXIX/2000;No 3.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar