Selasa, 13 Desember 2011

kAJIAN KEBERADAAN PROVINSI DALAM PENGUATAN OTONOMI DAERAH


KAJIAN KEBERADAAN PROVINSI DALAM PENGUATAN OTONOMI DAERAH










 Oleh
Sudharto












KAJIAN KEBERADAAN PROVINSI DALAM PENGUATAN OTONOMI DAERAH
Pengantar
Peraturan perundang-undangan yang terkait mengisyaratkan bahwa pembentukan pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urussan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah harus bekerja keras dengan meningkatkan pelayanan, memberdayakan, dan mengikutsertakan secara aktif seluruh elemen masyarakat serta meningkatkan daya saing daerah. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut pemerintah daerah harus memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu untuk mencapai efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, harus lebih diperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global. Selanjutnya agar mampu melaksanakan peran dan fungsi pemerintah daerah diberikanlah kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara (UU No. 32 Tahun 2004). Itulah roh dan semangat otonomi daerah yang memberikan jaminan (assurance) terciptanya kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Kalau roh dan semangat itu tidak mendarah daging pada setiap penyelenggara negara maka otonomi daerah hanya akan mensejahterakan elit daerah dan kelompok pendukungnya disatu pihak sedangkan dipihak lain akan memiskinkan rakyat kecil.  
Dalam pada itu sesungguhnya desentralisasi di negeri kita ini tidak cukup diukur dari seberapa jauh pasal-pasal dalam Undang-Undang tentang otonomi daerah telah dipahami benar dan secara konsisten dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk para pemimpin baik formal maupun informal pada aras manapun juga. Tetapi lebih dari itu harus diukur seberapa jauh lembaga-lembaga di daerah menjalin interaksi untuk memberdayakan seluruh potensi daerah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal-hal itulah yang menjadi alat ukur apakah otonomi daerah telah mampu meningkatkan pelayanan publik dan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan secara berkeadilan (Hamid, ES. et. al. 2004).

Praktik Otonomi Daerah dan Demokrasi Saat Ini
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 lahir dalam ketergesa-gesaan tanpa persiapan yang memadai. Hal itu merupakan buah reformasi yang berhasil menumbangkan pemerintahan sentralistik, otoritarian, dan militeristik dan berusaha menggantinya dengan sistem yang lebih demokratis. Perombakan sistem pemerintahan dilakukan simultan dengan perombakan sistem politik, sistem pertahanan dan keamanan, sistem ekonomi, dan lain-lain. Reformasi yang disambut dengan antusiasme seluruh rakyat Indonesia ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Tidak berapa lama kemudian otonomi daerah ditata lagi melalui keluarnya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999.
Kesiapan sumber daya manusia termasuk kematangan moral politik para pemimpin bangsa yang belum memadai mengakibatkan pemahaman terhadap maksud dan tujuan serta hakikat otonomi daerah jauh dari pada yang seharusnya. Otonomi daerah melahirkan raja-raja kecil di kabupaten dan kota yang dalam kepemimpinannya bukan saja bertentangan dengan janji-janji kampanye pemilihan kepala daerah melainkan juga bertindak dan mengambil keputusan yang sangat merugikan rakyat kecil. Penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN dan Pandapatan Asli Daerah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat bahkan terjadi penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindakan perampokan uang rakyat (Darmaningtyas: 2010). Pengawasan eksternal menjadi tidak efektif bahkan tidak dapat dilaksanakan semestinya oleh karena para kepala daerah memandang kekuasaannya sebagai sesuatu yang absolut. Tidak ada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi yang berwenang mengendalikan kebijakan para kepala daerah kecuali rakyat yang secara langsung memilih mereka (Tjitrodihardjo, S: 2010).
Sistem otonomi daerah yang dipraktikkan sekarang ini juga berjalan di tengah pelaksanaan sistem demokrasi yang formalistik seremonial bukan sistem demokrasi sejati, demokrasi yang bermartabat yaitu demokrasi yang konsisten terhadap nilai, hakikat, dan prinsip demokrasi. Bangsa Indonesia memang sedang memasuki tahapan yang dikenal dengan tahapan paradoksal demokrasi yaitu suatu keadaan dimana orang memperjuangkan hak-hak dalam sistem demokrasi tetapi dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.  
Untuk menuju sistem politik yang demokratis dibutuhkan pra kondisi yang memadai guna terwujudkannya proses demokratisasi itu sendiri. Pra kondisi  tersebut antara lain :  a). adanya pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala; b). kebebasan berpendapat; c). adanya akses ke sumber-sumber informasi yang luas dan beralternatif; d). adanya otonomi asosiasional; e). dibangunnya pemerintahan perwakilan; f). adanya hak warga negara yang inklusif. Selain hal tersebut sistem politik yang demokratis pada hakekatnya memerlukan 3 prinsip dasar seperti: a). tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial; b). tegaknya prinsip konstitusionalisme secara tegas melalui internalisasi dasar negara dan pandangan hidup bangsa serta pelaksanaan dan kepatuhan terhadap supremasi hukum dalam masyarakat; c). diberlakukan dan dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik yakni mekanisme pertanggungjawaban pejabat publik pada masyarakat (Surbakti, Ramlan: 2007).
Kalau pra kondisi tersebut kita jadikan parameter praktik demokrasi yang sekarang berjalan maka penempatan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk besar menjadi yang paling demokratis sesungguhnya bukan pujian tetapi sindiran. Secara prosedural dan teknis telah diselenggarakan pemilihan umum dengan label langsung, umum, bebas, dan rahasia, yang dilaksanakan dengan jujur dan adil. Namun demikian rakyat telah melihat terjadinya praktik-praktik politik yang tidak patut seperti politik uang, premanisme, manipulasi daftar pemilih, merekayasa perhitungan suara, teror politik, dan lain-lain yang kesemuanya mengakibatkan pelaksanaan pemilu tidak bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hasilnya adalah fakta sosok yang menang bukan sosok yang berpihak atau membela kepentingan rakyat kecil. Pada gilirannya hasil pemilu baik legislatif maupun eksekutif tidak memberikan jaminan akan terciptanya kemakmuran rakyat.
Masalah lain yang mempersulit tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui model otonomi daerah adalah sistem kepartaian di Indonesia. Undang-undang tentang partai politik telah melahirkan banyak partai yang umumnya tidak berbasis kader. Hampir semua partai adalah partai massa, partai berlatar belakang agama, etnis dan primordial yang lain. Sangat sedikit pengurus partai, kader partai, elite partai menghayati nilai dan prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap-sikap arogan, rendahnya kepekaan terhadap derita rakyat, penyalahgunaan sumber daya politik, penyalahgunaan kekuasaan, tidak efektifnya komunikasi antara elite partai dengan anggotanya yang ke semuanya membuat artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat kecil jarang terselesaikan dengan memuaskan. Di samping itu partai politik juga tidak memiliki kemampuan mengelola berbagai konflik yang terjadi baik yang terjadi dalam kepengurusan partai maupun yang di tengah-tengah masyarakat apalagi yang terjadi di dalam struktur kekuasaan.
Lebih parah lagi kondisinya ketika tokoh-tokoh politik tidak direkrut melalui jenjang karier politik yang baik. Akibatnya pemahaman para elit politik terhadap nilai-nilai demokrasi sangat tidak memadai, karena mereka merupakan tokoh instandan karbitan dengan pengalaman politik yang minim dan integritas pribadi yang rendah. Ambisi mewakili kelompoknya amat sangat menonjol, padahal untuk jangka panjang ambisi ini kontra produktif bahkan memerosotkan citra partai secara umum. Para anggota badan legialatif baik di pusat apalagi di daerah belum mampu menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya. Mereka mewakili kelompoknya dan karenanya anggota dewan sering menjadi sumber masalah dan sumber konflik.
Moral dan etika politik tidak menjadi basis sikap, perilaku dan tindakan para elite politik. Akibatnya perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh bak cendawan di musim hujan. Data BPK menunjukkan semenjak era otonomi daerah korupsi dan amburadulnya pengelolaan keuangan negara di daerah semakin meningkat (Tjitrodihardjo, S: 2010).
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 21 Tahun 2009 tentang rencana kerja pemerintah tahun 2010 diuraikan tantangan dan hambatan pelaksanaan otonomi daerah yang menyebabkan belum tercapainya kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan sebagai tujuan pokok otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah sampai saat ini masih belum mampu keluar dari berbagai tantangan. Tantangan itu antara lain jumlah penduduk miskin masih cukup besar sekitar 34,96 juta atau sekitar 15,42 % pada tahun 2008 kesenjangan tingkat kemiskinan antar propinsi juga masih besar dimana sekitar separuh propinsi mamiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Penduduk miskin masih terkonsentrasi di daerah perdesaan. Kelembagaan ekonomi pedesaan sedemikian lemahnya sehingga tidak dapat mendukung pengembangan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi pedesaan.
Upaya untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin juga menghadapi tantangan lain seperti rendahnya kapasitas pemerintahan daerah dalam mengarahkan program penanggulangan kemiskinan ke sasaran yang tepat. Di samping itu desentralisasi yang mendasari otonomi daerah mengakibatkan keputusan dan kesepakatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi sangat bervariasi. Di bidang kualitas pelayanan publik juga masih belum memenuhi harapan masyarakat. Hal itu disebabkan oleh karena pemahamn para aparat terhadap regulasi pelayanan publik masih kurang; belum tersedianya standar pelayanan minimal pada semua jenis pelayanan. Pelayanan perkotaan yang masih konvensional, masih ditemukannya prosedur pelayanan yang berbelit dan lambat terutama di bidang investasi. Upaya penguatan kapasitas pemerintah daerah masih terkendala dengan: a). masih banyaknya perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya; b).  penyusunan APBD di berbagai daerah yang sering mengalami keterlambatan; c). sering terjadinya perubahan  pada peraturan maupun aplikasi pendukungnya; d). ego sektural yang masih sangat kuat; e). ketidak harmonisan perundang-undangan antara perundangan sektoral dengan peraturan perundangan mengenai desentralisasi dan otonomi; f). adanya sikap apatis dari masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan; g). maraknya praktik KKN; h). masih tingginya opini diclaimer dari BPK; i). rendahnya kapasitas SDM aparatur pengelola keuangan negara; j). tindak lanjut hasil audit dan hasil pengawasan masyarakat yang belum optimal; k). sinergi lembaga intern/ ekstern pengawasan/ audit belum optimal.

Keberadaan Provinsi Saat Ini dan Gagasan Untuk Masa yang Akan Datang
Berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 gubernur adalah kepala pemerintah daerah provinsi yaitu daerah yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 mengatur kedudukan gubernur sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 dan Pasal 38. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Ayat (2) menetapkan bahwa dalam kedudukanya sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi,  gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 38 ayat (1) berbunyi: dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi, gubernur memiliki tugas dan wewenang: a). pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/ kota; b). koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/ kota; c). koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Dari perspektif legal formal dalam diri gubernur sesungguhnya telah melekat kewenangan yang cukup untuk menekan agar bupati dan walikota melaksanakan seluruh tugas, fungsi, dan kegiatannya semata-mata untuk mensejahterakan rakyat. Implikasi kewenangan ini menjadi semakin kuat ketika pemerintah daerah kabupaten dan kota belum sepenuhnya memiliki kemandirian khususnya di bidang fiskal. Namun demikian dalam praktiknya gubernur lebih banyak bersikap ”sopan” ketika menghadapi ”pembangkangan” para bupati dan walikota bahkan sikap ”sopan” ini juga diperlihatkan oleh pemerintah pusat termasuk presiden. Telah menjadi rahasia umum, sistem politik yang berlaku di negeri kita saat ini belum sepenuhnya berbasis pada profesionalisme, moral dan etika politik yang seharusnya. Demikian juga sistem otonomi saat ini diselenggarakan oleh sumber daya manusia yang derajat keprofesionalan dan moralitas politiknya memprihatinkan. Dalam kondisi demikian diperlukan model kepemimpinan yang tidak terlalu ”demokratis” tetapi model kepemimpinan situasional (situational leadership) yaitu pemimpin yang kadang-kadang bisa bersikap demokratis, tetapi kadang-kadang  kalau perlu bersikap otoriter yaitu memiliki ketegasan sikap.
Mengkaji kedudukan provinsi dengan gubernurnya tidak dapat semata-mata menggunakan pendekatan legal formal tentang kedudukan  dan peran gubernur saja, tetapi perlu juga memperhatikan praktik sistem politik dan juga model-model kepemimpinan yang berlaku.
Status gubernur disebut secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945; dengan demikian gubernur memiliki posisi konstitusional yang jelas. Pasal 18 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 memberikan isyarat bahwa baik pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten, dan kota tercantum secara rinci dalam PP No. 38 Tahun 2007. Ditetapkan bahwa bahwa 6 urusan yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan 31 bidang urusan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota sebagai urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib meliputi: pendidikan; kesehatan; lingkungan hidup; pekerjaan umum; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perumahan; kepemudaan dan olahraga; penanaman modal; koperasi dan usaha kecil dan menengah; kependudukan dan catatan sipil; ketenagakerjaan; ketahanan pangan; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; perhubungan; komunikasi dan informatika; pertanahan; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa; sosial; kebudayaan; statistik; kearsipan; perpustakaan. Sedangkan urusan pilihannya meliputi: kelautan dan perikanan; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; pariwisata; industri; perdagangan; dan ketransmigrasian.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 menunjukkan bahwa pemerintah daerah provinsi hanya menangani sebagian kecil urusan pemerintahan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada perintah daerah antara lain: penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman pada kebijakan nasional untuk bidang-bidang tertentu. Di bidang pendidikan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan oprasional pendidikan antar kabupaten/ kota. Demikian juga di bidang kurikulum pemerintah provinsi malekukan koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum untuk jenjang pendidikan menengah.  Pemerintah provinsi juga menangani urusan-urusan lintas kabupaten untuk urusan wajib bagi pemerintah daerah kabupaten dan kota. Urusan-urusan yang bersifat strategis, urusan yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan; serta fasilitasi pada pemerintahan daerah kabupaten dan kota. Supervisi dan fasilitasi juga menjadi urusan pemerintah daerah provinsi. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan titik berat otonomi diletakkan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota, karena kabupaten dan kota lah yang memiliki sumber daya alam, sumber daya air, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya yang harus diberdayakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian juga dalam hal realisasi hak-hak rakyat sebagai warga negara pemerintah daerah kabupaten dan kota secara fisik jauh lebih dekat dibandingkan dengan pemerintah daerah provinsi. Dalam perspektif inilah paling tidak untuk masa yang akan datang pemerintah provinsi tidak perlu menangani urusan-urusan yang terkait dengan pelayanan publik dan pemberdayaan potensi daerah. Pemerintah daerah provinsi lebih baik melaksanakan perannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Seperti diakui oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2009 tentang rencana kerja pemerintah sistem pengawasan dan akuntabilitas belum lah optimal dan akibatnya praktik KKN dalam birokrasi serta opini disclaimer dari BPK masih tinggi. Demikian juga keterlambatan penyusunan APBD, lemahnya kualitas pelayanan publik, serta kualitas hubungan pusat dan daerah dan antar daerah masih mamprihatinkan. Hal-hal tersebut adalah bagian yang sangat strategis untuk ditangani oleh pemerintah daerah provinsi.
Untuk masa yang akan datang pemerintah daerah provinsi lebih efektif jika memfokuskan pada status dan fungsi pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan fasilitasi. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah perlu diberi ”amunisi” melalui peraturan perundang-undangan yang memadai agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien. Wibawa gubernur harus dijaga agar penyelenggaraan otonomi derah tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan kuat serta mensejahterakan rakyat. Implikasi dari perubahan posisi dan peran gubernur serta keberadaan DPRD provinsi dan semakin kuatnya pemerintah daerah kabupaten/ kota harus melalui reformasi ulang. Cakupan reformasi ulang meliputi struktur, kultur, dan figur, dimulai dengan harmonisasi, sinkronisasi, perubahan, dan penggantian semua peraturan perundang-undangan di bidang politik sserta bidang-bidang lain yang terkait. Hal ini merupakan pekerjaan besar dan harus dimulai dari munculnya sikap cerdas, arif, dan legowo para elit politik. Sesuatu yang memerlukan waktu; dalam kondisi tingkat pendidikan nasional seperti saat ini tidak mudah memperkirakan kapan akan terlaksana.

                                                                   Semarang, 4 April 2011

1 komentar:

  1. Gambling, gambling and sports betting - Dr. Martin
    A 파주 출장마사지 map showing gambling, gambling and sports betting, 군포 출장마사지 located in 군포 출장샵 the United 통영 출장안마 States. Click here for more information. 김천 출장마사지 Map Location. Map Location.

    BalasHapus