Selasa, 13 Desember 2011

Pengaruh Pola Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Suasana Kerja terhadap Kinerja Guru

Pengaruh Pola Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Suasana Kerja terhadap Kinerja Guru

Sudharto

FIP IKIP PGRI Semarang

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja terhadap kinerja para guru. Sampel sebanyak 180 guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali. Pengumpulan data menggunakan angket. Data penelitian dianalisis dengan komputer program SPSS Versi 11.5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut persepsi guru: (1) ada pengaruh yang siginifikan pola kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru, (2) ada pengaruh yang signifikan suasana kerja terhadap kinerja guru, (3) secara bersama-sama ada pengaruh yang signifikan pola kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja terhadap kinerja guru. Suasana kerja mempunyai pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan pola kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru SMP Negeri Kabupaten Boyolali.
Kata kunci: pola kepemimpinan kepala sekolah, suasana kerja, dan kinerja guru.  





The Influence of The Headmaster Leadership Methode And Working Situation Toward Teacher’s loyality of SMPN in Boyolali Regency

Sudharto

FIP IKIP PGRI Semarang


Abstract
The objectives of the research are to know about the influence of the headmaster’s leadership methode and working situation toward teacher’s loyality. The samples are 180 teachers of SMPN in Boyolali Regency. The collecting data uses questionnaire. The data is analized using computer with SPSS programme in 11.5. version. The result shows that including to the teacher perception; (1) there is influence which has significant of the headmaster’s leadership toward teacher’s loyality; (2) there is influence which has significant of working situation toward teacher’s loyality; (3) As collective, there are influence which have significant of headmaster’s leadership methode and working situation toward teacher’s loyality. Working situation has influence bigger than headmaster’s leadership in increasing
Key words: headmaster’s leadership methode, working situation, and teacher’s loyality.


Pendahuluan
Dikemukakan oleh Ekosusilo, M. (2003) bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan suatu bangsa, sehingga pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk investasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa investasi pendidikan sebagai kegiatan inti pengembangan sumber daya manusia terbukti memiliki sumbangan yang sangat signifikan terhadap tingkat keuntungan ekonomi, sehingga keuntungan dalam investasi pendidikan lebih tinggi daripada investasi fisik. Melalui pendidikan dapat membekali seseorang berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang diperlukan untuk dapat bekerja secara produktif. Dengan demikian keberadaan human capital lebih penting jika dibandingkan dengan physical and capital.
Penjelasan tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan memiliki fungsi strategis dalam pembangunan bangsa, tanpa pendidikan pembangunan bangsa tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana. Fungsi strategis pendidikan tersebut adalah: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) menyiapkan tenaga kerja terampil dan ahli, serta (3) membina dan mengembangkan penguasaan teknologi.
Dapartemen Pendidikan Nasional, dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan nasional telah menetapkan empat sasaran strategis yang menjadi orientasi perencanaan, pengembangan dan pelaksanaan program pendidikan nasional yaitu: (1) pemerataan pendidikan, (2) peningkatan mutu, (3) peningkatan relevansi pendidikan, dan (4) peningkatan efisiensi pelaksanaan pendidikan nasional (Soedijarto, 1993). Sedangkan untuk merealisasikan strategi dimaksud telah dijabarkan dalam pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah. Pada jalur pendidikan persekolahan pelaksanaannya telah diatur mulai dari jenjang pra sekolah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi.
Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pendidikan nasional pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain; peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pengembangan sumberdaya manusia, dan berbagai kebijakan yang dapat mendukung pelaksanaan program pendidikan. Dan dalam rangka perluasan pendidikan, pemerintah telah melakukan perubahan pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, yaitu enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (PP No. 28, 1990).
Kenyataan menunjukkan bahwa meskipun pemerintah telah melakukan peningkatan dan perbaikan dalam berbagai aspek yang mendukung pelaksanaan pendidikan, namun hingga kini kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan di negara-negara maju. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Soedijarto (1993) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, hal ini mengandung makna bahwa pencapaian hasil pendidikan masih jauh dari apa yang ditargetkan.
Permasalahan masih rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia selalu dikaitkan dengan rendahnya kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pengajaran di sekolah. Hal ini sangat beralasan dan didasarkan pada pertimbangan bahwa di antara berbagai komponen yang mempengaruhi mutu pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, guru merupakan salah satu aspek yang pantas mendapat perhatian. Ditinjau dari posisi yang tertera dalam struktur organisasi pendidikan maupun dilihat dari tugas yang dibebankan, guru sangat berperan
dalam menentukan kualitas pendidikan.
Studi tentang pelaksanaan tugas guru di sekolah sebagaimana dijelaskan oleh Davis (1991) menunjukkan bahwa hanya kira-kira 43% waktu guru digunakan untuk membimbing dan melaksanakan pembela-jaran siswa di kelas, sedang sisanya digunakan untuk tugas-tugas yang bersifat administratif. Dari 43% waktu tersebut sebagian digunakan untuk melaksanakan bimbingan dan konseling terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar sehingga jam belajar yang bersifat tatap muka semakin berkurang. Hasil studi tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu guru hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran, sehingga pencapaian hasil belajar tidak maksimal.
Berbagai kritik terhadap guru yang dianggap sebagai penyebab lemahnya kualitas pendidikan patut dikaji secara seksama, walaupun masih banyak faktor di luar guru yang berpengaruh terhadap rendahnya kualitas pendidikan. Suryadi dan Tilaar (1994) berpendapat bahwa, besarnya populasi sekolah, alokasi dana, buku pelajaran, dan sarana pendidikan mempunyai dampak terhadap prestasi belajar siswa. Selain faktor-faktor dimaksud, pola kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala sekolah, situasi atau iklim yang berkembang di sekolah, kepuasan kerja, hubungan sekolah dengan masyarakat, komunikasi sesama guru, kesejahteraan guru juga dapat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di sekolah.
Permasalahan masih rendahnya mutu pendidikan dan rendahnya kinerja guru adalah permasalahan yang hampir ditemui di setiap daerah, seperti halnya di Kabupaten Boyolali. Secara keseluruhan prestasi kerja guru di Kabupaten Boyolali belum mencapai hasil yang diharapkan, terutama pada guru-guru SMP Negeri. Menurunnya prestasi kerja guru ditandai oleh perolehan NEM, angka partisipasi murni siswa SMP ke SLTA dan persentase siswa tinggal kelas. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Boyolali ternyata di Kabupaten Boyolali terdapat 47 SMP Negeri dengan jumlah guru 1.733 orang, jumlah siswa 38.480 orang. Berdasarkan data tersebut secara kasar dapat diartikan bahwa seorang guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali harus bertanggung jawab mendidik murid sebanyak kira-kira 23 anak didik. Ini merupakan tugas yang cukup berat bagi seorang guru.
Menurunnya prestasi kerja guru sudah barang tentu berkaitan dengan menurunnya pelaksanaan tugas mengajar, pelaksanaan bimbingan, pengembangan profesi dan tugas-tugas yang berhubungan dengan administrasi yang secara langsung berdampak pada perolehan hasil belajar siswa. Dugaan terhadap faktor-faktor tersebut sebagai penyebab menurunnya kinerja guru diperkuat dengan munculnya berbagai gagasan yang berkembang di kalangan guru untuk membentuk sebuah wadah atau forum komunikasi antar guru yang bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas di sekolah. Salah satu penyebab munculnya forum komunikasi tersebut adalah adanya rasa ketidakpuasan terhadap kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala sekolah sebagai administrator seharusnya dapat menciptakan suasana kerja yang menyenangkan bagi guru dan personel sekolah lainnya. Permasalahan ini harus segera diatasi agar pelaksanaan pendidikan di Kabupaten Boyolali dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Kepala sekolah yang efektif memfokuskan kegiatan pada pengajaran dan
peningkatan kinerja guru, sebagaimana diungkapkan oleh Greenfield dan Manasse (Davis & Thomas, 1989: 21) bahwa, “Effective principals focus their activities on instruction and the classrom performance of teachers”. Robbins (1996) juga menyatakan bahwa perilaku atasan (kepala sekolah) merupakan faktor utama dari kepuasan kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa studi yang pernah dilakukan menyimpulkan bahwa kepuasan karyawan (guru) dapat ditingkatkan apabila pimpinan bersikap ramah, menghargai kinerja guru, mendengarkan keluhan guru dan memperhatikan pendapat para guru. Ditegaskan pula oleh Yukl (1998), bahwa kinerja kelompok (organisasi) akan efektif apabila pekerja tersebut dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang produktif, anggota dimotivasi untuk melaksanakan tugas, dan bersinergi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Berdasarkan uraian teori di atas, permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah sejauh mana pengaruh persepsi guru tentang pola kepemipinan kepala sekolah dan suasana kerja terhadap kinerja guru di SMP Negeri Kabupaten Boyolali?
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh pola kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja terhadap kinerja guru berdasarkan persepsi guru.
Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian apat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: (1) pengaruh persepsi guru mengenai pola kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru, (2) pengaruh suasana kerja terhadap kinerja guru, dan (3) secara bersama-sama pengaruh persepsi guru mengenai pola kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja terhadap kinerja
guru.
Untuk membuktikan kebenaran hipotesis tersebut dilakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Metode Penelitian

            Penelitian ini menggunakan pendekatan ex post facto yaitu tidak mengadakan perlakuan terhadap subjek yang menjadi sasaran penelitian dan tidak mengadakan manipulasi data, melainkan hanya menggali fakta-fakta dari peristiwa yang telah terjadi dengan menggunakan angket. Sebelum angket digunakan terlebih dahulu telah diuji validitas dan reliabilitasnya kepada 30 responden guru SMP Negeri di luar sampel penelitian.
Populasi penelitian ini adalah seluruh guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali berjumlah 1.500 orang yang tersebar ke dalam lima wilayah (rayon). Besarnya sampel setiap wilayah ditetapkan 12% yang diambil secara random. Dari cara ini diperoleh sampel sebanyak 180 orang guru.  Dengan cara demikian sampel yang diperoleh benar-benar representatif mewakili populasi.berdasarkan jumlah guru di setiap rayon (wilayah).

Hasil dan Pembahasan
Hasil   
Pengaruh Persepsi Guru mengenai Pola Kepemimpinan Kepala Seko-lah (X1) terhadap Kinerja Guru (Y)

            Hasil analisis regresi X1 (persepsi guru mengenai pola kepemimpinan kepala sekolah) dengan Y (kinerja guru), dapat digambarkan dalam persamaan sebagai berikut: Y = 0,818 X1 + 15,735, harga F sebesar 35,943 dengan probabilitas (p=0,000), dan R2 = 0,669 atau 66,9 %.
            Dengan demikian, besarnya pengaruh X1 (persepsi guru mengenai pola kepemimpinan kepala sekolah) terhadap Y (kinerja guru) sebesar 66,9 % hal ini sebagai akibat dari indikator-indikator pola kepemimpinan Kepala Sekolah, sedangkan 33,1 % kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. 

Pengaruh Persepsi Guru Mengenai Suasana Kerja (X2) terhadap Kinerja Guru (Y)

Hasil analisis regresi X2 (suasana kerja) dengan Y(kinerja guru), dapat digambarkan dalam persamaan sebagai berikut: Y = 0,723 X2 + 9,206, harga F sebesar 4,398 dengan probabilitas (p=0,000), dan R2 = 0,627 atau 62,7 %.
            Dengan demikian, besarnya pengaruh X1 terhadap Y sebesar 62,7 % hal ini sebagai akibat dari indikator-indikator suasana kerja, sedangkan 37,3 % kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini.

Pengaruh Persepsi Guru Mengenai Pola Kepemimpinan Kepala Se-kolah (X1) dan Suasana Kerja (X2) terhadap Kinerja Guru (Y).
Hasil analisis regresi ganda X1 (pola kepemimpinan kepala sekolah) dan X2 (suasana kerja) dengan Y (kinerja guru), dapat digambarkan dalam persamaan sebagai berikut: Y = 0,319 X1 + 0,585 X2 + 24,134, harga t sebesar 7,831 dengan probabilitas ( p = 0,000), dan R² = 0,779 atau 77,9%.
Dengan demikian, besarnya pengaruh X1 (pola kepemimpinan kepala sekolah),  X2 (suasana kerja)  terhadapY (kinerja guru) sebesar 77,9%, hal ini sebagai akibat dari indikator-indikator kerja, sedangkan 22,1% kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini.

Pembahasan 
Pengaruh Persepsi Guru mengenai Pola Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap Kinerja Guru

Temuan penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara pola kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru. Hal yang sama dikemukakan oleh Barnard (Sutisna, 1993) bahwa pola/tipe kepemimpinan yang efektif adalah dapat mencapai keduanya; menumbuhkan kinerja anggota dan meningkatkan produktivitas organisasi. Dalam latar sekolah, guru merupakan salah satu anggota organisasi yang menempati posisi strategis guna pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian usaha meningkatkan kinerja guru berarti juga meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.   
            Kepala sekolah sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan sumberdaya sekolah harus mampu bekerjasama dengan semua personel sekolah, terutama dengan guru. Kemampuan mengarahkan dan mempengaruhi anggota organisasi sekolah ditunjukkan melalui pola kepemimpinan yang ditampilkan, dengan harapan dapat mencapai tujuan secara lebih efisien. Kepala sekolah yang efektif, menurut Davis dan Thomas (1989) tidak cukup hanya mempunyai visi yang jelas dan terukur akan tetapi juga menaruh harapan yang tinggi terhadap prestasi siswa dan kinerja guru (staff performance). Kepala sekolah mempunyai peranan yang sangat dominan dalam meningkatkan prestasi sekolah akan tetapi hanya sedikit waktu yang dicurahkan untuk kegiatan perbaikan pengajaran, sebagaimana dikemukakan oleh Martin & Willower (Davis dan Thomas, 1989: 18) sebagai berikut: “Research on the activities and behavior of principals indicates that most principals spend very little time on curriculum and instructional matters”. Penelitian tentang aktivitas dan perilaku kepala sekolah menunjukkan bahwa, sebagian besar kepala sekolah sangat sedikit menggunakan waktu untuk pengembangan kurikulum dan pengajaran.
            Beberapa pendapat yang memperkuat temuan penelitian ini dikemukakan oleh De Roche (1985: 2) sebagai berikut:” Effective school principals are both tas-oriented and people-oriented”. Kepala sekolah yang efektif berorientasi pada tugas dan berorientasi pada manusia. Senada dengan pendapat di atas, Nurhadi (1983) menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan secara efektif, kegiatan pemimpin tidak hanya sekedar bergantung pada keharmonisan hubungan manusia, tetapi lebih jauh dari itu yakni termasuk pada semua bentuk tingkah laku manusia yang ikut berperan serta dalam organisasi tersebut baik sebagai individu, dalam kerjasamanya dengan orang lain, proses pengambilan keputusan, kewenangan, yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap tingkah laku (kinerja) para anggotanya. Dijelaskan juga oleh Kahn dan Katz (Sutisna, 1993) bahwa, pimpinan yang berorientasi pada tugas memusatkan perhatiannya terutama kepada peningkatan efisiensi, kenaikan produksi, dan pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Sedangkan pimpinan yang berorientasi pada manusia menekankan pada motivasi karyawan, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anggota, dan pengembangan semangat anggota organisasi. Hampir semua bentuk pola kepemimpinan ditujukan pada peningkatan kinerja anggota, dan secara keseluruhan meningkatkan produktivitas organisasi.

            Hasil penelitian tentang efektivitas kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan bahwa, efektivitas sekolah ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah (Nurtain, 1993). Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam pola dan gaya kepemimpinan, menurut Supriadi (1998) diperlukan terciptanya kehidupan sekolah yang sehat, kondusif, dan menunjang kinerja sekolah, antara lain: (1) kepala sekolah perlu memiliki visi yang jelas mengenai pembinaan mutu kehidupan sekolah, (2) kepala sekolah perlu melibatkan guru dalam kegiatan dan pengambilan keputusan penting di sekolah sehingga dapat membangkitkan rasa kebersamaan, rasa memiliki, rasa dihargai pada guru, (3) keteladanan kepala sekolah, sikap konsistensi dalam menegakkan aturan, dan kesesuaian perkataan dengan perbuatan mutlak diperlukan untuk membangun kepercayaan di kalangan warga sekolah, (4) kepala sekolah harus memahami kehidupan sekolah yang dipimpinnya. Apabila kepala sekolah dapat menciptakan kehidupan sekolah berdasarkan kriteria di atas, dapat meningkatkan kinerja warga sekolah khususnya para guru.


Hubungan Suasana Kerja dengan Kinerja Guru
            Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara suasana kerja dengan kinerja guru. Hal ini berarti semakin menyenangkan dan kondusif suasana kerja di sekolah maka akan diikuti dengan peningkatan kinerja guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kabupaten Boyolali.
            Temuan penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Supriadi (1998) bahwa, iklim atau suasana kehidupan sekolah, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, dan pola kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat perkembangan sekolah dapat meningkatkan mutu kerja (kinerja) guru. Hal yang senada dikemukakan oleh Siagian (1986:140) sebagai berikut: “Suasana kerja yang menggairahkan meningkatkan semangat kerja anggota organisasi untuk berbuat lebih banyak untuk mencapai tujuan yang ditetapkan”. Suasana sekolah yang menyenangkan dapat tercipta jika terdapat kerjasama yang harmonis antara kepala sekolah dengan guru, saling pengertian diantara para guru, tersedia fasilitas belajar, ruangan belajar siswa dan ruangan kerja guru yang bersih, serta jauh dari kebisingan industri dan kendaraan.
            Temuan penelitian George C. Stern (Owens, 1991:188) tentang pengukuran iklim organisasi (measurement of organizational climate) menyimpulkan bahwa, skor yang tinggi pada aspek iklim (suasana) sekolah karena didukung oleh; (1) lingkungan kerja yang menyenangkan, (2) ketersediaan fasilitas kerja, (3) kejelasan tugas masing-masing anggota, (4) program kerja yang terorganisir secara rapi (well organized). Lebih lanjut dikemukakan oleh George C. Stern, bahwa suasana kerja yang kondusif dapat meningkatkan efektivitas kerja anggota dalam mencapai tujuan organisasi (to meet organizational objectives). Temuan penelitian ini senada dengan pendapat De Roche (1985) yang menyatakan bahwa, sekolah yang mempunyai iklim sekolah secara positif dapat meningkatkan kinerja guru dan personil sekolah lainnya. Iklim organisasi sekolah yang kondusif dapat dibangun melalui kerjasama  kepala sekolah dengan guru dan dukungan antar sesama guru dalam menjalankan tugas-tugas di sekolah guna meningkatkan prestasi belajar siswa.  
            Penelitian yang dilakukan oleh Peterson (1985) tentang penilaian kemampuan atau performansi mengajar guru menemukan bahwa, semakin lama pengalaman mengajar yang dimiliki oleh guru maka semakin tinggi pemahaman diri pada tugas mengajarnya. Selama guru melaksanakan tugas dipengaruhi oleh suasana kerja di sekolah, baik pola kepemimpinan yang diterapkan kepala sekolah, perlakuan kepala sekolah terhadap guru dan kerjasama antar guru dalam menjalankan tugas di sekolah. Dengan demikian, suasana kerja di sekolah berkorelasi dengan tinggi atau rendahnya kinerja guru di sekolah. 
            Temuan penelitian ini relatif berbeda dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Kadir (1996) yang meneliti tentang unjuk kerja instruktur menyimpulkan bahwa, peringkat unjuk kerja (kinerja) instruktur sangat tinggi. Sedangkan temuan penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa peringkat kinerja guru pada kategori tinggi. Perbedaan tersebut kemungkinan terdapat variabel lain yang ikut berpengaruh seperti pengalaman mengajar, latar pendidikan, ataupun  kepemimpinan kepala sekolah. Bahkan mungkin dapat disebabkan faktor metodologis seperti jenis instrumen yang digunakan, teknik sampling, ataupun jenis pilihan statistik yang digunakan.

Pengaruh Pola Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Suasana Kerja terhadap Kinerja Guru

            Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara pola kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja dengan kinerja guru.
Hal ini berarti semakin efektif pola kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala sekolah dan semakin menyenangkan/kondusif suasana kerja di sekolah maka akan selalu diikuti dengan peningkatan kinerja guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kabupaten Boyolali.
            Berdasarkan hasil uji signifikansi multiple R (R2) ditemukan bahwa pola kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja secara bersama berkorelasi secara signifikan dengan kinerja guru. Hal ini dibuktikan perolehan harga F regresi sebesar 62,771 bila dibandingkan dengan harga F tabel sebesar 3,02. Ini berarti F hitung > F tabel dengan nilai probabilitas (p) sebesar 0,000. Dengan demikian hasil uji signifikansi menunjukkan bahwa teori dan temuan-temuan penelitian yang digunakan sebagai landasan penelitian ini adalah relevan.
            Setelah dilakukan uji signifikansi dari masing-masing harga koefisien garis regresi lewat harga t masing-masing variabel bebas menunjukkan harga koefisien garis regresi yang beragam, walaupun kedua koefisien garis regresi yaitu b1 sebesar 0,386 dan b2 sebesar 0,519. Dengan demikian kedua prediktor memiliki hubungan secara signifikan dengan variabel Y. Artinya semakin efektif pola kepemimpinan kepala sekolah dan semakin kondusif/menyenangkan suasana kerja di sekolah maka kinerja guru semakin meningkat.
            Berdasarkan temuan-temuan penelitian di atas, diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan pendekatan dan metodologi yang berbeda, kualitatif ataupun studi kasus sehingga dapat menghasilkan temuan yang lebih komprehensif.

Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, terdapat pengaruh yang positif dan signifikan anatara pola kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali sebesar 66,8 % (R2=0,668,) sedangkan sisanya 33,2% dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel yang diteliti. 
Kedua, terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara suasana kerja terhadap kinerja guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali sebesar 62,7 %  (R2=0,627), sedangkan sisanya 37,3% dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel penelitian ini.
Ketiga, terdapat pengaruh secara ganda (bersama) pola kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja dengan kinerja guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali terhadap kinerja guru SMP Negeri di Kabupaten Boyolali sebesar 77,9 %  (R2=0,779), sedangkan sisanya 22,1% dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel yang diteliti dalam penelitian ini.

Daftar  Pustaka

Davis, G.A. & Thomas, M.A. (1991). Effective Schools and Effective Teachers. Boston., London, Sydney, Toronto: Allyn and Bacon  Inc.

De Roche, E. F. (1985). How School Administrators Solve Problems. New Jersey: Prentice Hall.

Ekosusilo, Madyo. (2003). Mengupayakan Pendidikan yang Mampu Meningkatkan Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal IPS dan Pengajarannya. 1:1-10.

Kadir, A. (1996). Hubungan Motivasi dan Disiplin dengan Unjuk Kerja Instruktur Balai Pendidikan dan Latihan Keluarga Berencana di Jawa Timur. Tesis tidak dipublikasikan. Malang:PPS IKIP Malang.

Nurtain. (1989). Supervisi Pengajaran (Teori dan Praktek). Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti-P2LPTK.

Owens, R. G. (1991) Organizational Behavioral in Education (4rd Ed.) New York: CBS College Publishing

Peterson, K.D. (1985). Teacher Evaluation with Multiple and Variable Line of Evidence. Journal of Education Research, 42 (17), 311-317.

Siagian, S. P. (1986). Filsafat Administrasi. Jakarta: CV. Haji Masagung.

Soedijarto. 1993. Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki Abad ke-21. Jakarta: Rineka Cipta.

Supriadi, D. (1998).  Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Suryadi, A. dan Tilaar, H.A.R. (1994). Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Sutisna, O. 1993.  Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung: Angkasa.

Yukl, G. (1998). Kepemimpinan dalam Organisasi. Diterjemahkan oleh Magdalena Jamin. Jakarta: Prenhallindo

Biodata Penulis

Sudharto. Lahir di Krandon, Kabupaten Semarang, 2 Nopember 1941. Pendidikan terakhir S3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Semarang, lulus tahun 23 April 2007, Master of Arts Educational Administration – The California State University, lulus 19 Agustus 1988. Pekerjaan dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Pascasarjana IKIP PGRI Semarang. 

KEBUDAYAAN SEBAGAI ROH BANGSA

                            KEBUDAYAAN SEBAGAI ROH BANGSA
(Upaya untuk memahami, menghayati, mengamalkan,
dan   mengantisipasi)











 







Oleh : Sudharto




Disampaikan dalam Rapat Kerja Pembentukan Lembaga Penjaga dan Penyelamat Karya Budaya Bangsa yang Diselenggarakan YSBJ Kanthil Bekerja Sama dengan Pemerintah  Daerah Provinsi Jawa Tengah
di LPMP Semarang  28-29 Maret 2011
               KEBUDAYAAN SEBAGAI ROH BANGSA
(Upaya untuk memahami, menghayati, mengamalkan,
dan mengantisipasi)

Pengantar
          Kata roh dapat bermakna sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani. Disamping itu roh bisa berarti jiwa atau semangat. Jiwa tidak lain adalah sesuatu yang terutama dan menjadi sumber tenaga dan kehidupan. Sedangkan semangat adalah roh kehidupan yang menjiwai segala mahkluk. Semangat itu dapat memberi kekuatan atau kemauan untuk bekerja ( KUBI, 2001). Mengacu pada pengertian dasar roh menurut kamus tersebut dan dalam konteks judul: “Kebudayaan sebagai Roh Bangsa” dimaksudkan bahwa kebudayaan itu sesungguhnya adalah unsur/elemen yang menjadi sumber kehidupan bangsa. Sebagai roh bangsa kebudayaan memberi kekuatan bangsa atau memberi kemauan agar bangsa itu dapat bekerja untuk mempertahankan dan memperkokoh eksistensinya bukan saja dalam kemandiriannya sebagai bangsa melainkan juga dalam kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa.
 Keberadaan kebudayaan sebagai roh bangsa sesungguhnya mendinamisasi bangsanya dalam menorehkan sejarah peradaban bangsa yang membuat bangsa menjadi “survive” sejalan dengan perkembangan pergaulan antar bangsa yang semakin maju. Dari kebudayaanlah suatu bangsa menjadi maju, modern, dan berkesetaraan dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Disamping itu kebudayaan juga sebagai jati diri bangsa yaitu sesuatu yang membedakan antara bangsa yang satu dengan bangsa lainnya. Wujud kebudayaan akan menjadi daya pembeda keberadaan bangsa yang satu dengan bangsa lain. Jika karena pergaulan antar bangsa kebudayaan suatu bangsa dipengaruhi secara dominan oleh kebudayaan bangsa lain, maka bangsa itu bukan saja kehilangan roh dan jati dirinya melainkan juga bangsa itu sesungguhnya telah kehilangan eksistensinya sebagai bangsa atau dengan kata lain bangsa itu sudah mati.
Pengalaman menunjukkan bahwa pengaruh globalisasi memang nyaris tidak mungkin ditiadakan oleh bangsa manapun karena sesungguhnya pengaruh kebudayaan oleh bangsa lain menjadi sebuah kebutuhan demi kemajuan bangsa itu sendiri. Tetapi menerima begitu saja tanpa memilah dan memilih atau menyaring mana-mana yang mendatangkan manfaat dan mana yang merusak, mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan karakter dan nilai-nilai budaya asli bangsa, mana yang positif mana yang negatif bagi kemajuan bangsa, niscaya penerimaan kebudayaan bangsa semacam itu bakal mendatangkan malapetaka nasional. Untuk menjaga eksistensi bangsa Indonesia agar menjadi negara yang modern tanpa kehilangan jati diri, maka kedudukan dan peran rapat kerja ini penting serta dan srategik. Namun dengan satu catatan bahwa unsur pemerintah baik pusat maupun daerah harus mengambil peran lebih dominan, lebih bertanggung jawab dalam rangka menjaga, menyelamatkan, dan memperkokoh kebudayaan bangsa. Hal ini sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang mengisyaratkan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia dibentuk dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Simorangkir, 2004).
Dalam konteks kebudayaan sebagai roh dan jati diri bangsa, rapat kerja dimaksudkan untuk mencari upaya dalam mempertahankan, memperkokoh kebudayaan bangsa termasuk melakukan adaptasi terhadap perkembangan budaya dunia yang dipengaruhi oleh budaya-budaya bangsa yang lebih maju. Hal ini sepatutnya memperoleh dukungan dari berbagai pihak agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern tetapi tidak kehilangan jati diri bangsanya. Dalam pada itu upaya juga dilakukan melalui pemahaman yang benar, penghayatan, dan pengamalan yang tepat serta sikap antisipatif yang akurat.

Hakekat Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1976) kebudayaan menampakkan diri sekurang-kurangnya dalam 3 wujud yaitu: 1) sebagai satu kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia; 2)  sebagai suatu kompleks aktivitas; dan 3) sebagai benda ( Liliweri, Alo, 2001). Dari ketiga wujud ini kebudayaan ada yang bersifat abstrak, ada dalam benak manusia tetapi tidak dapat dilihat dan dipandang. Para ahli antropologi menyebutnya dengan istilah sistem budaya (“culture system”). Sebagai komplek aktivitas manusia kebudayaan bersifat lebih kongkrit dapat diamati atau diobservasi yang oleh para antropolog disebut sistem sosial. Aktivitas ini biasa berpola dan diatur oleh gagasan-gagasan dan tema-tema berfikir yang ada dalam benak manusia yang nampak dalam bentuk-bentuk pertemuan, upacara, ritus maupun pertengkaran yang kesemuanya menimbulkan gagasan dan pikiran baru. Wujud ketiga berupa karya manusia yang menghasilkan banyak benda untuk berbagai keperluan hidupnya. Kebudayaan dalam bentuk fisik itulah yang paling kongkrit yang dikenal dengan “physical culture” atau “material culture”. Semua kebudayaan di dunia dalam ketiga wujud tersebut memiliki 7 (tujuh) unsur universal, yaitu : 1). Bahasa, 2) Sistem teknologi, 3). Sistem suatu pencaharian, 4). Organisasi sosial, 5). Sistem pengetahuan, 6). Religi. dan 7). Kesenian.
Masyarakat  dan kebudayaan tidak berada dalam ruang vakum, melainkan berada dalam ruang yang memungkinkan keduanya berubah baik secara cepat maupun secara perlahan-lahan (evolusi). Perubahan dimungkinkan terjadi karena faktor internal dan juga karena faktor eksternal, seperti jumlah dan komposisi penduduk, perubahan lingkungan , difusi kebudayan, penemuan baru di bidang teknologi dan inovasi.
Globalisasi juga bisa melahirkan perubahan sosial sekaligus perubahan kebudayaan Niels Mulder seorang antropologis independen mengatakan 
culture is process ; process is change ; new culture, finally is always in the making, with the old often being relegated to the museum and volklore 
( Mulder, Neils,2005 ). Ketiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat tersebut mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan manusia. Pendapat ini diungkapkan pula oleh Krech dan Crutfield (1984) bahwa kebudayaan seseorang bisa dilihat dengan jelas melalui pola-pola perilaku yang teratur yang bisa menggambarkan kepercayaan, nilai, dan landasan berfikirnya. Itulah sebabnya, maka pemahaman tentang kebudayaan suatu masyarakat yang majemuk akan sangat membantu pemahaman perilaku antar anggota masyarakat dari berbagai etnik (Liliweri, Alo, 2001).
Koentjaraningrat (1982) berpendapat bahwa seperti halnya masyarakat Indonesia kebudayaan berfungsi sebagai: 1) sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas pada warga negara Indonesia, 2) sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara yang berbhinneka untuk saling berkomunikasi dan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas. Poespowardojo (1989) memiliki pendapat yang senada bahwa masyarakat kita yang pluralistik baik ditinjau dari suku bangsa, golongan, agama, daerah maupun kemampuan dari golongan-golongan untuk menjawab tantangan-tantangan dan mengembangkan kemungkinan baru, merupakan masalah besar yang perlu ditangani terus-menerus.

 Mengapa Kebudayaan menjadi Roh dan Jati Diri Bangsa?
Hakekat manusia secara universal perwujudannya beraneka ragam; ada kesamaan-kesamaan tetapi juga ada ketidaksamaan atau keberagaman sebagaimana yang terlihat ekspresinya dalam berbagai bentuk dan corak ungkapan, pikiran dan perasaan, tingkah laku dan hasil perbuatan mereka (S.M; Munandar, 2001). Keberagaman ini dibawa oleh manusia sejak kelahirannya. Kebiasaan sifat, buah pikiran, kreativitas setiap orang yang terakumulasi dalam suatu kelompok dengan persamaan-persamaan tertentu yang berproses dalam jangka waktu yang panjang dipengaruhi oleh lingkungannya itulah yang kemudian disebut dengan kebudayaan. Dunia dipenuhi oleh berbagai kelompok dengan perbedaan-perbedaan bawaan dan perbedaan yang berkembang dibawah pengaruh lingkungan baik geografik maupun interaksi sosialnya. Hal ini sejalan dengan dalil proposisi yang diajukan oleh Herkovits dalam bukunya yang berjudul “Man and His Work” tentang teori kebudayaan. Dari sejumlah proposisi yang dikemukakan terdapat 3 (tiga) proposisi yang erat kaitannya dengan unsur roh dan jati diri bangsa yaitu: 1) kebudayaan berasal atau bersumber dari segi biologik, lingkungan, psikologik, dan komponen sajarah eksistensi manusia, 2) kebudayaan bersifat dinamis, 3) kebudayaan merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya (S.M; Munandar, 2001). Dalil ini sejalan dengan gagasan Ashley Montagu seorang guru besar antropologi dalam bukunya “The Cultured Man” yang memberikan pengertian dasar tentang kebudayaan sebagai:  “ the way of life of a people, its ideas, habits, skills, arts, instruments, and institutions”. Lebih daripada itu kultur juga: “…..that is expressed in the refinement of thought, emotion, conduct, manners, taste, and attitudes of the person”.  
Para pakar memberikan pengertian kebudayaan masih bersifat luas, akibatnya pengkajian kebudayaan sangat beragam. Mengingat kebudayaan merupakan totalitas pandangan hidup diperlukan rumusan pengertian kebudayaan yang lebih sistematik dan tepat. Kroeber dan Klukhohn (1950) memberikan definisi/pengertian kebudayaan sebagai berikut: kebudayaan terdiri atas berbagai pola bertingkah laku yang mantap, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang penyusunan dan pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia; termasuk didalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan yang terdiri atas tradisi, cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Rumusan ini bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalam praktik arti kebudayaan menurut pendapat umum ialah sesuatu yang berharga atau baik (Baker, 1984 dalam S.M; Munandar, 2001). Berdasarkan uraian di atas sangat mudah difahami bahwa kebudayaan sesungguhnya adalah roh bangsa karena elemen itu merupakan elemen bawaan setiap manusia yang berproses dalam jangka waktu panjang melalui interaksi sosial dan interaksi manusia atau kelompok manusia dengan lingkungannya. Elemen inilah yang memberi kekuatan bangsa itu untuk hidup, beraktivitas, dan berkreativitas. Disamping itu kebudayaan merupakan jati diri bangsa oleh karena kebudayaan berfungsi sebagai sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas pada warga negara sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Kemajemukan sebagai Roh Bangsa Indonesia
Terkait dengan masalah kebudayaan Indonesia yang merupakan roh bangsa Indonesia, pasal 32 UUD 1945 yang telah diamandemen menetapkan bahwa:
1.     Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradapan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
2.     Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dalam kaitan dengan rumusan ini ada baiknya kita membuka kembali penjelasan pasal 32 UUD 1945 sebelum diamandemen yang menyatakan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kea rah kemajuan adap budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajad kemanusiaan bangsa Indonesia. Puncak-puncak kebudayaan daerah tidak lain adalah undur-unsur kebudayaan daerah yang bersifat universal dan dapat di terima oleh suku bangsa lain tanpa menimbulkan gangguan terhadap latar budaya kelompok (etnis) yang menerima sekaligus merupakan konfigurasi atau gugusan kesatuan budaya nasional. Itulah kemajemukan kebudayaan (multikulturalisme) yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa Indonesia sesuai dengan salah satu pilar NKRI yaitu Bhinneka Tunggal Ika.


Peran UNESCO dalam Memberikan Perlindungan Budaya Bangsa
Dalam buku “Wayang Karya Agung Budaya Dunia “ yang diterbitkan  kantor UNESCO di Paris tahun 2007 dapat disimak peran UNESCO dan perkembangan pelaksanaannya dalam melindungi, merawat, dan melestarikan keanekaragaman budaya, kreatifitas manusia yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Konvensi 1972 UNESCO mengenai Warisan Budaya dan Alam Dunia hanya mencakup warisan benda seperti monument, situs budaya dan pemandangan alam. Masyarakat dunia semakin menyadari pentingnya warisan lisan tak benda sebagai jati diri, kreativitas, serta pelestarian keanekaragaman budaya manusia. Warisan budaya tak benda yang sangat berharga ini semakin terdesak oleh berbagai sebab seperti globalisasi, konflik bersenjata, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Pada tahun 1989, UNESCO mengusulkan Perlindungan Warisan Budaya Tradisional. Kemudian Sidang Pleno UNESCO ke-29 pada bulan November 1977 menyetujui Resolusi No.29 yang menetapkan peraturan mengenai Proklamasi Karya-karya Agung Lisan Tak Benda Warisan Manusia (Masterpiece of Oral and Intangible Haritage of Humanity) oleh UNESCO, dengan tujuan,
a.     meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap nilai warisan budaya tak benda,
b.     mengevaluasi dan mendaftar situs dan warisan budaya tak benda,
c.      membangkitkan semangat pemerintah budaya supaya menggambil tindakan-tindakan hukum dan administratif guna melestarikan warisan budaya tak benda,
d.     mengikutsertakan seniman setempat dalam dokumentasi, pelestarian dan pengembangan warisan budaya tak benda.
Atas usul para pakar, dalam Sidang Pleno UNESCO tahun 2001 definisi Warisan Budaya Tak Benda telah ditetapkan “Peoples learned processes a long with the knowledge, skills and creativity that inform and are developed by them, the products they create and the resources, spaces and other aspects  social and natural context necessary to their sustainability; the processes provide living communities with a sense of continuity with previous generations and are important to cultural diversity and creativity of humanity.”
Selanjutnya dalam upaya melestarikan warisan budaya tak benda pada Sidang Pleno UNESCO ke-32 tahun 2003 ditatapkan Konvensi untuk melestarikan Warisan Budaya Tak Benda. Karya-karya agung, termasuk Wayang Indonesia, tersurat dalam Konvensi ini setelah Konvemsi diratifikasi oleh 30 negara yang karya budayanya telah diproklamirkan oleh UNESCO sebagai karya agung.
Setiap negara boleh mencalonkan satu karya agung budaya untuk diproklamasikan setiap 2 tahun sekali. Penyusunan berkas untuk calon proklamasi karya agung warisan budaya tak benda menyangkut uraian kegiatan berkut:
a.     Identifikasi. Pembuatan identifikasi karya agung warisan budaya tak benda.
b.     Konservasi. Pembuatan arsip dan data budaya bangsa, museum-museum, melatih pakar konservasi, menggandakan arsip dan data mengenai warisan budaya tak benda.
c.       Pelestarian. Menyiapkan bahan untuk memasukkan studi warisan budaya tak benda dalam kurikulum sekolah, memberikan dukungan moral dan modal untuk individu dan lembaga di bidang warisan budaya tak benda. Mendukung riset ilmiah tentang warisan budaya tak benda.
d.     Dokumentasi.  Penyelenggaraan festival, pameran, seminar tentang warisan budaya tak benda. Promosi yang lebih luas dalam media. Penyediaan informasi, menyelenggarakan pertemuan yang bertujuan melestarikan warisan budaya tak benda, serta upaya menetapkan kode etiknya.
e.      Perlindungan. Melindungi para pelaku dan pakar seni budaya tak benda, juga arsip dan datanya.
Berdasarkan kebijakan UNESCO tersebut terbukalah kesempatan yang sangat luas bagi bangsa  Indonesia dan para pihak terkait untuk melakukan upaya kongkrit dalam rangka melindungi, menyelamatkan, dan memperkokoh warisan budaya bangsa sebagai bagian dari kreativitas bangsa Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No.32 tahun 2003 tentang pemerintah daerah, bidang kebudayaan telah menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah, kabupaten, dan kota. Berdasarkan pengalaman selama ini mengurus karya-karya bangsa dan/ atau karya anak bangsa bukan pekerjaan yang mudah. Penyebab utamanya adalah kemampuan sumber daya manusia dan ketepatan bentuk organisasi yang mengelola karya bangsa itu. Upaya untuk memberikan pemahaman  dan penghayatan substansi budaya bangsa yang beragam merupakan pekerjaan yang harus ditangani secara sistemik dan berkelanjutan serta memerlukan peran serta pemerintah pusat mengingat betapa besar nilai strategik kebudayaan bagi eksistensi bangsa Indonesia dalam pergaulan antar bangsa. Lembaga pendidikan dalam berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan menurut peraturan perundangan yang berlaku bersama dengan elemen masyarakat yang dapat dibentuk secara mandiri kalau diberdayakan dengan cara yang tepat akan menjadi kekuatan yang efektif .
Kebudayaan nasional dalam hal ini diartikan sebagai kebudayaan integral merupakan suatu totalitas dari proses dan hasil segala aktivitas bangsa Indonesia dalam bidang estetika, moral, dan ideologi nasional. Oleh karena Indonesia memiliki landasan ideologi Pancasila maka formasi kebudayaan nasional merupakan proses yang timbal balik antara yang ideal dan aktual. Kebudayaan dalam hal ini dipandang sebagai polaritas antara yang ideal dengan yang aktual, antara nilai-nilai dan kelakuan individu antara kebudayaan dan interaksi sosial dsb. Melalui pembiasaan dan proses kultur maka akan dapat dihasilkan etos kebudayaan (S.M; Munandar, 2001). Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari oleh warga negara Indonesia apapun status dan peranannya akan menjadikan kemajemukan Indonesia akan memperkokoh keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).












Daftar Bacaan
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Penerbit PT Gramedia, Jakarta. 1981.

Liliweri, Alo, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya,
           penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta;2001

------,Prasangka dan Konflik, penerbit LKIS, Yogyakarta;2005

Montagu, Ashley, The Cultured Man , penerbit Permabooks, New York;1988
Mulder, Niels, Inside Indonesian Change : Cultural Change in Java, penerbit Kanisius, Yogyakarta.2005


Simorangkir B. Mang Reng Say, Tentang dan Sekitar UUD 1945, penerbit Djambatan, Jakarta;1984

Soelaiman, M.Munandar, Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar, penerbit Replika Aditama, Bandung;2001

UNESCO,Wayang: Karya Agung Budaya Dunia, Paris;2007