Sabtu, 26 November 2011

Kebijakan yang Membina Guru atau yang Membinasakan Guru

KEBIJAKAN YANG MEMBINA GURU
ATAU  
YANG MEMBINASAKAN GURU

OLEH
SUDHARTO

            Guru adalah sosok manusia yang lemah. Demikian lemahnya sosok seorang guru, sering kali yang bersangkutan mengalami kesulitan  untuk mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya.  Apa lagi jika masalahnya berasal dari  “sang majikan” yaitu Pemerintah bagi guru PNS dan Yayasan bagi guru non PNS ( guru swasta). Kalau masalah itu berasal dari sang majikan jangankan guru  seorang diri, berkelompok  bahkan dengan kekuatan organisasi sekalipun ternyata tetap lemah : permasalahannya tidak mudah terselesaikan; justru bisa berkepanjangan . Sosok guru yang lemah umumnya sangat penurut: apa kata majikan itulah tindakan guru.Peribahasa Raja adil raja disembah raja lalim raja disanggah  tidak bisa berlaku dalam lingkungan  guru. Di lingkungan guru raja lalim pun tetap disembah,titahnya tetap dilaksanakan.Hal ini dikerjakan juga karena terpaksa, terutama jika terkait dengan perut guru, nasib atau hidup matinya guru. Sementara itu jika seseorang berada dalam suasana terpaksa ia akan bekerja sambil memendam rasa kecewa, resah, takut, tidak bisa berkonsentrasi,apatis  yang pada gilirannya akan menurunkan semangat dan produktivitas kerjanya. Demikian  pula halnya seorang guru.Untuk itulah kebijakan tentang guru perlu diupayakan agar tidak mengakibatkan turunnya semangat dan produktivitas guru dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Yang perlu disadari oleh semua pihak adalah bahwa pembinaan itu merupakan proses panjang, berkelanjutan, berbasis konsistensi dan ketekunan oleh semua pihak : guru,pejabat pengelola pendidikan pada aras manapun, kepala sekolah,supervisor, dan masyarakat. Tanpa kesadaran itu berbagai upaya pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kinerja guru bisa juga berubah menjadi “pembinasaan” dalam arti sosok guru tetap ada dan hadir dalam setiap proses pembelajaran tetapi sesungguhnya komunikasi batin antara guru dan peserta didik tidak ada sama sekali. Jika kondisi semacam itu yang terjadi maka proses pendidikan tidak akan ada manfaatnya bagi peserta didik menyongsong  perannya di masa depan.   
            Kontroversi kinerja guru penerima tunjangan profesi
Akhir-akhir ini komunitas guru di seluruh wilayah tanah air  sedang dalam suasana resah gelisah karena mengalami perlakuan  yang membingungkan sebagai akibat ulah “sang majikan” yaitu pejabat di Kemendiknas yang telah , sedang dan akan mengambil kebijakan yang tidak jelas alasan dan rujukannya serta menyinggung rasa keadilan para guru. Kebijakan tersebut berkaitan dengan realisasi hak guru sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Guru dan Dosen. Ketika organisasi guru yang tertua dan terbesar jumlah anggotanya berhasil memperjuangkan Undang-Undang  tentang Guru dan Dosen yaitu UU No 14 tahun 2005, para guru  menyambut dengan penuh harapan dan optimisme. Melalui Undang-Undang ini pekerjaan guru ditingkatkan statusnya  menjadi profesi yaitu pekerjaan yang terhormat,bermartabat dengan persyaratan dan hak-hak tertentu sepadan dengan kedudukan dan fugsinya. Masa depan mereka bakal  berubah, karena kesejahteraan mereka ditingkatkan, perlindungan meraka diperluas dan dijamin,  keprofesionalan mereka  dibina secara berkelanjutan. Tiba saatnya para guru tidak lagi menjadi pelanggan setia bank perkreditan atau koperasi simpan pinjam ketika anaknya masuk ke jenjang pendidikan berikutnya,atau anaknya harus dirawat di rumah sakit,atau guru itu sendiri harus membeayai keperluannya yang mendadak. Sayang praktek pelaksanaanya tidak sebagaimana semangat dan bunyi/ perintah Undang-Undang tersebut. Kebijakan Kemendiknas bukan saja mengabaikan hakekat dan tujuan penetapan guru sebagai profesi, melainkan juga berubah-ubah tanpa alasan yang dapat dipahami akal sehat. Bahkan  kebijakan tersebut terkesan mempersulit realisasi hak-hak guru dan menimbulkan rasa ketidakadilan di antara sesama guru. Lebih-lebih ketika di Kemendiknas terjadi pergantian pimpinan. Mereka menetapkan kebijakan baru berdasarkan persepsi mereka yang dipengaruhi oleh pengalaman mereka,bukan berdasarkan semangat,tujuan dan apa yang yang diperintahkan Undang-Undang Guru dan Dosen. Yang lebih menyakitkan mereka sering mempublikasikan  pernyataan yang menghakimi  dan menyudutkan guru seperti:  tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok yang telah dinikmati oleh sejumlah guru ternyata tidak berdampak pada peningkatan mutu kinerja dan mutu pendidikan. Digambarkan seolah-olah sikap professional mereka jalan di tempat, proses pembelajaran tidak berubah, tidak ada tanda-tanda pembelajaran berbasis IT. Potret  yang ditonjol-tonjolkan  justru perubahan kehidupan sejumlah kecil guru penerima tunjangan profesi yang konsumtif, dengan indikator pembelian   motor atau mobil baru  dan  perabot rumah tangga baru, renovasi rumah dan keperluan pribadi lain.  Digambarkan juga bahwa mereka  sama sekali tidak memanfaatkan dana itu untuk melengkapi diri dengan perangkat pembelajaran yang mampu menampilkan model pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan. Seolah-olah disiplin, motivasi, etos kerja dan mutu kerja mereka tidak berubah. Ada pihak yang menganggap bahwa tunjangan profesi itu tidak ada manfaatnya; mubadir. Itulah potret guru penerima tujangan profesi di mata majikan,sesama teman guru yang kecewa dan iri atau mereka yang tidak mau tau sejarah karier mereka serta kondisi sosio- psikis mereka.
Keadaan seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Disain pembinaan profesi guru harus berbasis pemberdayaan, pemahaman kondisi riel para guru dengan latarbelakang pendidikan guru yang berbeda-beda; bukan pembinaan yang penuh dengan rasa tidak percaya, kecurigaan dan syak wasangka. Pembinaan guru juga harus mempertimbangkan fungsi dan tugas guru yang berbeda dengan fungsi dan tugas dosen.
Harus diakui dengan jujur bahwa kondisi guru sebagaimana diutarakan terdahulu  tidak salah tetapi kondisi tersebut hanya berlaku untuk sejumlah kecil dari guru penerima tunjangan profesi. Dengan kata lain faktanya tidak seperti yang dimuat di media cetak mengutip pernyataan para pejabat. Generalisasinya sangat berlebihan dan tendensius. Guru menjadi korban kebijakan yang tidak tepat, korban ketidakpatuhan Kemendiknas terhadap perintah undang-undang:  No.20/2003; No.14/2005 dan PP.No.74/2008.
Penelitian yang dilakukan oleh Ki Supriyoko pada tahun 2007-2008 atas penugasan Dirjen PMPTK menunjukkaan bahwa sekitar 61% penerima tunjangan profesi telah membeli laptop. Perubahan kinerja guru dalam mengelola pembelajaran berbasis IT tentu tidak seperti membalik telapak tangan.Mereka butuh waktu terutama bagi mereka yang usianya sudah tua. Dengan demikian mengukur kinerja mereka tidak boleh sembarangan. Pengukuran harus memotivasi mereka, bukan menghakimi desain mereka
            Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan
Undang-Undang guru menentukan bahwa serifikasi pendidik dilaksanakan secara obyektif,transparan dan akuntabel (pasal 11 ayat (3) UU No.14/2005). Selanjutnya  PP  No.74/2008 menetukan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan untuk yang  telah memiliki ijasah S1 atau D-IV  dapat langsung mengikuti uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio  yaitu pengakuan atas pengalaman professional guru (ps.12 ayat (1) dan ayat (3)).  Kumpulan dokumen pengalaman professional yang dinilai meliputi : kualifikasi akademik, pendidikan dan latihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas,prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah,  pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan. Diatur juga dalam hal guru yang mengajukan penilaian portofolio belum mencapai persyaratan yang ditentukan. Hal ini diatur pada ayat (5) pasal yang sama. Secara tegas ditentukan bahwa guru tersebut diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan portofolio atau mengikuti pendidikan dan pelatihan diperguruan tinggi yang ditunjuk oleh Pemerintah. Ketentuan ini kalau dilaksanakan dengan konsekuen sesungguhnya akan menjadi motivasi ekstrinsik guru dalam melaksanakan tugasnya. Mereka menjadi bangga dan bersyukur bahwa apa yang selama ini didedikasikan  guru dihargai    oleh Pemerintah. Sebagai umat beragama rasa syukur ini dipastikan dapat mendorong guru untuk bekerja lebih baik agar pada masa yang akan datang rahmat menjadi berlipat ganda.  Sangat disayangkan pelaksanaannya tidak seperti yang seharusnya. Tidak konsisten, gonta-ganti kebijakan yang membuat guru bingung : portofolio, portofolio tanpa kesempatan untuk memperbaiki,diikuti PLPG model “one for all” bagi yang gagal portofolio, portofolio dengan “trick” target kelulusan,diikuti PLPG “model loka karya”. Mulai tahun 2012 akan ada upaya yang lebih dahsyat yang semakin mengecewakan, menebalkan rasa ketidakadilan para guru, meresahkan dan menimbulkan sikap apatisme. Untuk dapat mengikuti PLPG  tahun 2012 guru harus menempuh tes potensi akademik (TPA). Jika tidak lulus hak untuk ikut PLPG gugur. Sungguh semakin jauh penyimpangan Kemendiknas dalam melaksanak perintah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan-kebijakan lain yang tidak sesuai dengan semangat Undang-   Undang guru dan Dosen
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Guru dan dosen anatara lain dinyatakan bahwa guru dan dosen memilik fungsi, peran  dan kedudukan strategik dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu menghadapi persaingan antar bangsa yang semakin ketat. Untuk itulah guru ditetapkan sebagai jabatan professional yang berfungsi untukmeningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran yang antara lain berperan sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, pemberi inspirasi belajar. Proses sertifikasi, sertifikat profesi dan tunjangan profesi dimaksudkan agar guru dan dosen memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Semangat inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh guru dan para pengambil kebijakan pada tingkat manapun. Mereka yang sudah berstatus sebagai guru bertahun-tahun mengabdi harus diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dengan memperoleh sertifikat  profesi dan kemudian menerima haknya berupa tunjangan profesi. Resiko berikutnya pemerintah harus mengatur dengan sunggug-sungguh agar mereka meningkat kemampuan profesionalnya . Bukan sebaliknya seperti nampak dalam sejumlah kebijakan yang selama ini dikembangkan.
            Kebijakan lain yang tidak sesuai dengan semangat , makna dan perintah undang-undang guru dan dosen adalah  tugas tambahan untuk memenuhi beban mengajar guru sekurang-kurangnya 24 (duapuluh empat jam) tatap muka sebagaimaana diatur dalam ayat (2) pasal 35 Undang_undang Guru dan Dosen. Hal ini seharusnya hanya dikaitkan dengan latar belakang/program studi dari kualifikasi akademik guru yang barsangkutan. Kompetensi professional dan kompetensi pedagogik seorang guru pastilah hanya untuk program studi yang didalami empat tahun  selama pendidikan di LPTK, bukan hasil diklat jangka pendek.Salah satu ciri profesi adalah “advanced training”yang berjangka panjang. Dengan demikian  kebijakan rumpun bidang studi  ini bertentangan dengan  hakekat  profesi yang pada gilirannya akan merugikan pesert didik. Struktur program kurikulum dan kegiatan di lingkungan sekolah tempat guru mengajar itulah yang harus jadi basis tugas guru.Mengharuskan guru mencari tugas tambahan mengajar di luar  satuan administrasi pangkalnya  justru mengurangi tanggung jawab profesionalnya  dan menimbulkan masalah baru yang tidak patut.
            Mudah-mudahan para pihak terkait menyadari status dan peran masing-masing karena sesungguhnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama; tanggung jawab seluruh elemen bangsa; semua harus diberdayakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar