Sabtu, 26 November 2011

Kualitas PelayananPendidikan di Jawa Tengah

KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN  : PERMASALAHAN DAN SOLUSI PEMECAHANNYA










Oleh:
Sudharto

Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pendidikan yang Diselenggarakan oleh Dewan Pendidikan Jawa Tengah Semarang, 24 November 2011


KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN  : PERMASALAHAN DAN SOLUSI PEMECAHANNYA

UUD 1945 mengisyaratkan bahwa pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtaraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Penggalan alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 ini memerintahkan secara eksplisit agar pemerintah Indonesia memerangi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Selanjutnya amanat ini dijabarkan ke dalam pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945. Dinyatakan bahwa pendidikan adalah bagian dari hak asasi manusia (pasal 28c). Masalah ini harus memperoleh prioritas; kalau tidak terlaksana dengan baik bisa-bisa pemerintah dituntut karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia.  Selanjutnya dinyatakan pula bahwa  bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, Diamanatkan juga agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang diatur dengan Undang-Undang. Memahami peran strategis pendidikan terhadap kemajuan bangsa, maka ditetapkan juga bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ketentuan-ketentuan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sebagai kebijakan nasional yang mengikat seluruh elemen bangsa baik unsur pemerintah pusat maupun daerah pelaksanaannya  diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), peraturan Presiden, peraturan Menteri, dan peraturan Daerah. Dari bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan inilah  muncul sejumlah permasalahan pendidikan atau permasalahan layanan pendidikan yaitu ketidaksesuaian antara yang seharusnya dengan yang terjadi. Permasalahan ini harus dicarikan solusinya agar hak rakyat terpenuhi.  Permasalahan muncul  karena rumusan dan sosialisasinya yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman, atau kemampuan pelaksananya yang kurang memadai baik kuantitatip manapun kualitatip, atau karena kepentingan yang bermotif primordial / politik dan lain-lain.
I.     Substansi Kebijakan Pendidikan
1.   Pendidikan menurut UUD 1945
a. Cita-cita Bangsa
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa pada hakekatnya merupakan transformasi dari masyarakat budaya, yaitu suatu proses transformasi dari masyarakat tradisional yang dililit oleh kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan menuju menuju masyarakat maju, modern, berjati diri, bermartabat, demokratis, berkeadilan,dan mampu berperan dalam membangun dunia yang aman, sejahtara dan berkeadilan bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan.
b. Tanggung Jawab Pemerintah
UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sehingga amanat dan semangatnya mengikat serta isinya harus menjadi sumber dan rujukan kepatuhan bagi peraturan perundang-undangan pendidikan di bawahnya. Jajaran pemerintah pada tingkat manapun dan dengan alasan apapun tidak boleh melanggar semangat, bunyi, dan isi pasal-pasalnya. Dalam hal pemerintah tidak melaksanakan UUD 1945, pemerintah dapat dikategorikan melanggar konstitusi dengan implikasi politik yang bisa mengancam keberlangsungan pemerintah yang sedang berkuasa dan/ atau melahirkan gugatan di pengadilan.
2.   Pendidikan Menurut UU No. 20 Tahun 2003
a.   Makna Pendidikan bagi Bangsa
Dalam rangka menjalankan kewajiban dan memberikan pelayanan pendidikan sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal, UU Sisdiknas juga merumuskan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan. Secara eksplisit, UU tersebut memberikan pengertian pendidikan secara normatif bagi bangsa Indonesia. Pendidikan tidak lain adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan peroses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam pada itu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan pengetahuan  dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan memiliki keterampilan bagi diri dan masyarakat serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
b.   Landasan Filosofis Pendidikan
Pengembangan potensi diri dengan indikator tersebut dilaksanakan dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.  Dalam konteks ini nilai-nilai Pancasila harus menjadi acuan dasar dalam mengembangkan sosok manusia Indonesia. Nilai-nilai yang ditanamkan dan dikembangkan  adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap sila dalam Pancasila. Landasan filosofi Pancasila juga mengarahkan terciptanya masyarakat madani yang aman, tertib, tentram, yang berketuhanan, berperikemanusiaan, memiliki rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat, demokratis, bergotong royong, mengakui dan menghargai keberagaman, serta menjaga toleransi kehidupan beragama.
c.   Isi Sistem Pendidikan Nasional
Bangsa Indonesia menghadapi tantangan dunia yang berubah cepat sebagai akibat perkembangan yang pesat di bidang elektronika dan sistem informasi. Undang-Undang Sisdiknas telah menetapkan isi dari pendidikan yang hendak diselenggarakan demi pengembangan potensi, manusia Indonesia menuju masyarakat madani yang berwibawa, pendidikan sistem terbuka dan, pendidikan sepanjang hayat merupakan pendekatan antisipatif baik untuk kepentingan warga negara itu sendiri maupun untuk kepentingan menghadapi tantangan global. Manusia yang hendak dikembangkan adalah manusia Indonesia seutuhnya dengan dimensi keindividuan, kesusilaan, kesosilaan maupun keberagaman. Namun demikian strategi yang menjamin keseimbangan antara proses pengembangan, kecerdasan akademik dan kecerdasan moral atau multi intelegensi tidak tergambarkan, secara jelas.
d.   Desentralisasi Pendidikan
Pasca reformasi pendidikan menjadi urusan wajib bagi pemerintah kabupaten dan kota tanpa memperhitungkan kemampuan riil setiap daerah baik mengenai sumber dana maupun sumber daya manusia. Secara tiba-tiba tanpa persiapan yang matang Bupati dan Walikota secara otonom mengurus pendidikan untuk semua fungsi manajemen. Akibatnya otonomi pendidikan tidak sesuai  dengan makna dan tujuan otonomi itu sendiri. Banyak yang salah urus semata-mata karena kelemahan sumber daya manusia.
Masalah lain yang muncul terkait dengan desentralisasi adalah  dikotomi pengelolaan sekolah umum dan Madrasah/ bentuk lain yang sederajat. Sekolah umum sudah menjadi urusan wajib kabupaten/ kota, sedangkan Madrasah/ bentuk lain yang sederajat masih menjadi urusan Departemen Agama.
e.   Pemerataan Pendidikan
Amanat konstitusional tersebut setelah mengalami pasang surut dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia yang terakhir dijabarkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam memberikan jaminan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu (pasal 5 ayat (1)), disebutkan juga jenis-jenis dan pelayanan pendidikan bagi warga negara yang memiliki keterbatasan. Jaminan tersebut diantaranya disebut bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat(2)). Bagi warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta bagi masyarakat adat yang terpencil, berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (ayat(3)). Untuk warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, berhak mendapatkan pendidikan khusus (ayat (4)). Dalam melaksanakan prinsip life long education, setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Sampai saat ini layanan khusus dan pendidikan khusus masih belum  sebagaimana mestinya.
f.     Peran Serta Masyarakat
Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 mengisyaratkan bahwa pemerintah bertanggungjawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanggung jawab dalam melaksanakan amanat UUD ini diwujudkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU No. 20 Tahun 2003. Selain mengatur pengelolaan agar sejalan dengan organisasi pemerintah yang berbasis otonom daerah, UU Sistem Pendidikan Nasional tersebut juga menegaskan kembali bahwa masyarakat wajib berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan sebagaimana disebut dalam pasal 9 UU tersebut, yaitu masyarakat berkewajiban memberi dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antar pemerintah, pemerintah  daerah, dan orang tua.
Terkait dengan peran serta  masyarakat melalui pendirian unit sekolah mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi ( sekolah-sekolah swasta) terdapat rumusan pasal yang tidak adil bahkan diskrimitatif. Hal ini mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia. Pasal tersebut adalah pasal 55 ayat 4 yang penggalannya berbunyi “… lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan…. dari pemerintah dan/ atau pemerintah daerah.
g.   Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Daerah
Berdasarkan UU Sisdiknas, perguruan tinggi mempunyai misi Tridarma yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selama ini ketiganya dilaksanakan secara simultan, namun belum seimbang, masalah terfokus pada pengajaran berupa transformasi ilmu yang sebagian besar kurang fungsional dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dikaitkan dengan kepentingan daerah, pemerintah daerah tidak mempunyai payung hukum sebagai dasar untuk turut berperan dalam memajukan perguruan tinggi melalui kegiatan riset dan dhama yang lain.

II.   Permasalahan Pendidikan dan Pemecahannya
1.   Kemauan politik melalui penetapan UU No. 20 Tahun 2003 ternyata belum sepenuhnya mampu merealisasikan cita-cita bangsa sebagaimana amanat UUD 1945. Penyebabnya antara lain: 1). Rumusan pasal-pasal tertentu tidak sesuai dengan semangat dan isi/ amanat UUD 1945, 2). Rumusan pasal-pasal dan penjelasannya saling bertentangan, 3). Rendahnya kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan UU, 4). Kuatnya intervensi kekuatan politik, 5). Mindset para pejabat di pusat tidak sesuai dengan semangat dan makna otonomi daerah.
Terhadap fakta ini bentuk pemecahan masalah yang dapat pilih adalah malakukan amandemen terhadap pasal-pasal bermasalah dalam undang-undang no. 20 tahun 2003 antara lain : pasal 55 ayat 4 ( tentang bantuan untuk sekolah swasta) , pasal 36 dan 37 ( tentang kurikulum yang tidak memasukan Pancasila sebagai muatan wajib) pasal 30 tentang pendidikan keagamaan.


2.   Kurikulum
Landasan filosofi, hakekat, dan tujuan pendidikan walaupun telah dicantumkan secara eksplisit dalam UU Sisdiknas ternyata relatif tidak memiliki makna terhadap proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah. Pendidikan di sekolah lebih banyak untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dari pada kecerdasan emosional dan spiritual. Kecerdasan intelektual yang dikembangkannya pun hanya pada tataran kognitif, sedangkan pendidikan yang mengembangkan nili-nilai kemanusiaan kurang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh karena: 1). sistem evaluasi nasional dalam bentuk ujian nasional, 2). Penerapan sistem pembelajaran model yang oleh Paulo Freire disebut Banking Concept of Education Model. Model ini tidak dapat digunakan dalam menanamkan kesadaran belajar lebih jauh yakni sikap kreatif dan inovatif serta pengembangan moralitas.

Untuk itu pelatihan  model-model pembelajaran efektif perlu disediakan anggaran yang memadai dengan metode diklat yang tepat serta supervisi akademik yang berkelanjutan.
3.         Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sekalipun ketercukupan sarana prasarana pendidikan menurut standar yang ditentukan tidak secara otomatis meningkatkan mutu proses pembelajaran, tetapi ketercukupan tersebut telah menjadi komponen dari mutu pendidikan. Kesepakatan antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota untuk berbagi tanggung jawab dalam merenovasi ruang kelas sering kali tidak dipegang teguh oleh salah satu pihak. Akibatnya target perbaikan sarana prasarana tidak tercapai. Perlu diatur kembali kesepakatan tersebut sedemikian rupa sehingga pengalaman masa yang lalu tidak terulang.
4.           Proses Pembelajaran yang Mengembangkan Kemandirian Siswa
Pemahaman para guru terhadap proses pembelajaran dengan pendekatan Student Oriented seperti CBSA, PAIKEM, dan lain-lain yang sejenis masih belum seperti yang seharusnya. Penyebabnya antara lain: model  diklat yang diikuti dan disparitas yang tinggi antara sekolah di kota dan di desa. Pemahaman dan ketrampilan yang terbatas mengakibatkan ketidakmampuan guru ketika berhadapan dengan siswa yang motivasi belajarnya rendah. Kondisi ini mengakibatkan perkembangan kemandirian peserta didik lamban.
Pada masa yang akan datang sistem diklat harus ditata ulang termasuk supervisinya.
5.         Pengembangan Minat Baca
Dalam hal menciptakan Reading Sociaty,  Indonesia termasuk ketinggalan jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Singapura. Hal ini disebabkan karena rendahnya minat baca para peserta didik baik SD, SMP, maupun sekolah menengah. Berbagai kegiatan yang mendorong tumbuhnya minat baca seperti lomba sinopsis, lomba mengarang tidak lagi terdengar. Perpustakaan desa sudah banyak mati karena tidak ada pemeliharaan yang berkelanjutan. Para peserta didik ketika berada di rumah lebih tertarik menonton televisi, mendengarkan musik daripada membaca. Tentulah Reading Habits tidak berkembang.
Untuk itu perlu dihidupkan kembali berbagai macam kegiatan yang mendorong kegemaran membaca. Perpustakaan sekolah, perpustakaan desa harus dihidupkan kembali sehingga menjadi Laerning Resourse  yang menarik peserta didik.
6.         Sebagian besar pemerintah kabupaten dan kota memperlakukan sistem pendidikan nasional sebagai tugas reguler/ tugas rutin. Pendidikan belum menjadi program prioritas, belum dirancang dan dikelola secara progresif  berbasis pada kesetaraan kesempatan dan kesetaraan gender. Proses pendidikan belum menggunakan pendekatan dan metode yang tepat agar Multi Intellegencies berkembang maksimal. Dalam rangka penguatan sumber daya manusia pemerintah pusat dan provinsi sebaiknya menfasilitasi kegiatan diklat yang sistemik dan berkelanjutan. Disamping itu juga mendorong agar pendidikan menjadi prioritas, dirancang dan dikelola secara progresif, berbasis pada kesetaraan.
7.           Akhir-akhir ini sistem pendidikan nasional telah diintervensi oleh berbagai sistem pendidikan lain seperti penggunaan kurikulum asing, sekolah bertaraf internasional, pembukaan sekolah-sekolah asing, dan lain-lain. Hal ini secara nyata telah melanggar pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tututan perubahan zaman.
Untuk itu diperlukan persyaratan pendirian yang lebih ketat, pengawasan yang tegas, serta supervisi akademik yang berkelanjutan. Dengan cara itu maka lulusan sekolah asing tersebut adalah sumber daya manusia yang berkualitas tetapi tetap berkarakter Indonesia.
8.       Peran Serta Masyarakat
Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. Namun prakteknya kedua lembaga tersebut belum mampu berperan secara optimal sesuai dengan konsep dasar keberadaannya. Sinergi  antara legislatif dan eksekutif di satu pihak, dengan kedua lembaga sebagai representasi kekuatan masyarakat di pihak lain belum terbangun. Kedua lembaga ini terlalu lemah menghadapi pemegang kekuasaan. Kelemahan kedua lembaga tersebut masih ditambah dengan masalah-masalah internal yang dilematis.
Diperlukan kesadaran bagi para pemegang kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif untuk mengembangkan prinsip kemitraan antara kedua lembaga dengan pihak pemegang kekuasaan. Pada saat yang sama diperlukan penguatan internal bagi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah terutama terkait dengan sumberdaya manusia dan mekanisme kerja..
9.       Supervisi akademik
Kedudukan , mekanisme dan sistem rekuitmen pengawas menyebabkan keberadaan pengawas kurang efektif. Kontribusi kegiatan supervisi pengawas dalam memberbaiki dan meningkatkan mutu proses penbelajaran relatif kecil. Hal itu disebabkan karena  praktek supervisi oleh pengawas selama ini tidak menyentuh masalah-masalah substansial proses pembelajaran. Kehadiran pengawas lebih banyak terkait dengan supervise manajerial, supervisi administrativ. Sementara itu keberhasilan supervisi akademik sangat bergantung pada kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan  yang diperlukan oleh guru guna meningkatkan mutu pembelajaran. Disinilah letak kelemahan pengawas kita.
Untuk itu kedudukan, sistem rekruitmen pengawas dan mekanisme kerjanya perlu ditata kembali. Disamping itu kerjasama saling mengisi antara pengawas dan kepala sekolah dalam membuat perencanaan suprvisi dan tindak lanjut pasca supervisi harus well organized dan well planned.
10.         Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Daerah
Pelaksanaan pembanguan di daerah masih lebih banyak bergantung pada diel-diel politik antara para pihak terkait. Akibatnya sering kali pembanguna dengan biaya milyaran rupiah tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat atau pelaksanaan pembangunan sering kali menimbulkan rasa ketidakadilan. Untuk mengurangi hal-hal negative tersebut perlu dikembangkan pembangunan berbasis riset dengan memberdayakan perguruan tinggi  gudangnya para ahli yang tiadak mudah terkooptasi dengan kekuatan politik.
11.         Pendidikan Karakter Bangsa
Wacana tentang pendidikan karakter bangsa beberapa tahun terakhir ini menguat dari satu forum ke forum yang lain. Para guru masih belum cukup bekal untuk mengelola proses pembelajaran dengan misi yang demikian ambisius untuk keberlangsungan entitas keindonesiaan yang mampu bersaing dalam globalisasi dan survive tanpa harus kehilangan jati diri.
Kebijakan pendidikan karakter bangsa haruslah merupakan gerakan nasional yang menjadi komitmen seluruh jajaran pemerintah baik pusat maupun daerah serta seluruh elemen bangsa. Untuk itu grand desain pendidikan karakter bangsa haruslah diberi payung hukum yang  mampu menekan pemerintah daerah untuk melaksanakan pendidikan karakter bangsa secara all out.
12.     Manajemen Guru
Guru merupakan komponen yang paling strategis dalam meningkatakan mutu pendidikan. Mutu pendidikan itu sendiri sesungguhnya terletak di dalam kelas bukan ditempat lain. Kehadiran guru di kelas dengan kemauan dan kemampuan professional yang mempribadi, sejahtera dan dalam suasana terlindungi dipastikan akan menciptakan suasana pembelajaran yang memandirikan peserta didik. Sayang banyak kebijakan dari kementerian pendidikan nasional yang tidak dilandasi oleh semangat pembinaan yang sesungguhnya yaitu yang bersumber  pada semangat UUG & D. Akibatnya guru tidak meningkat kemampuanya karena model pembinaan tersebut justru “membinasakan” kompetensi guru”.
Berikut ini adalah kebijakan-kebijakan yang justru “membinasakan” kompetensi guru.

a.   Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan
Undang-Undang guru menentukan bahwa serifikasi pendidik dilaksanakan secara obyektif,transparan dan akuntabel (pasal 11 ayat (3) UU No.14/2005). Selanjutnya  PP  No.74/2008 menetukan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan untuk yang  telah memiliki ijasah S1 atau D-IV  dapat langsung mengikuti uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio  yaitu pengakuan atas pengalaman professional guru (ps.12 ayat (1) dan ayat (3)).  Kumpulan dokumen pengalaman professional yang dinilai meliputi : kualifikasi akademik, pendidikan dan latihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas,prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah,  pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan. Diatur juga dalam hal guru yang mengajukan penilaian portofolio belum mencapai persyaratan yang ditentukan. Hal ini diatur pada ayat (5) pasal yang sama. Secara tegas ditentukan bahwa guru tersebut diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan portofolio atau mengikuti pendidikan dan pelatihan diperguruan tinggi yang ditunjuk oleh Pemerintah. Ketentuan ini kalau dilaksanakan dengan konsekuen sesungguhnya akan menjadi motivasi ekstrinsik guru dalam melaksanakan tugasnya. Mereka menjadi bangga dan bersyukur bahwa apa yang selama ini didedikasikan  guru dihargai    oleh Pemerintah. Sebagai umat beragama rasa syukur ini dipastikan dapat mendorong guru untuk bekerja lebih baik agar pada masa yang akan datang rahmat menjadi berlipat ganda.  Sangat disayangkan pelaksanaannya tidak seperti yang seharusnya. Tidak konsisten, gonta-ganti kebijakan yang membuat guru bingung : portofolio, portofolio tanpa kesempatan untuk memperbaiki,diikuti PLPG model “one for all” bagi yang gagal portofolio, portofolio dengan “trick” target kelulusan,diikuti PLPG “model loka karya”. Mulai tahun 2012 akan ada upaya yang lebih dahsyat yang semakin mengecewakan, menebalkan rasa ketidakadilan para guru, meresahkan dan menimbulkan sikap apatisme. Untuk dapat mengikuti PLPG  tahun 2012 guru harus menempuh tes potensi akademik (TPA). Jika tidak lulus hak untuk ikut PLPG gugur. Sungguh semakin jauh penyimpangan Kemendiknas dalam melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.   Kebijakan-kebijakan lain.
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Guru dan dosen anatara lain dinyatakan bahwa guru dan dosen memilik fungsi, peran  dan kedudukan strategik dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu menghadapi persaingan antar bangsa yang semakin ketat. Untuk itulah guru ditetapkan sebagai jabatan professional yang berfungsi untukmeningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran yang antara lain berperan sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, pemberi inspirasi belajar. Proses sertifikasi, sertifikat profesi dan tunjangan profesi dimaksudkan agar guru dan dosen memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Semangat inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh guru dan para pengambil kebijakan pada tingkat manapun. Mereka yang sudah berstatus sebagai guru bertahun-tahun mengabdi harus diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dengan memperoleh sertifikat  profesi dan kemudian menerima haknya berupa tunjangan profesi. Resiko berikutnya pemerintah harus mengatur dengan sungguh-sungguh agar mereka meningkat kemampuan profesionalnya.Bukan sebaliknya seperti nampak dalam sejumlah kebijakan yang selama ini dikembangkan.
Kebijakan lain yang tidak sesuai dengan semangat , makna dan perintah undang-undang guru dan dosen adalah  tugas tambahan untuk memenuhi beban mengajar guru sekurang-kurangnya 24 (duapuluh empat jam) tatap muka sebagaimaana diatur dalam ayat (2) pasal 35 Undang_undang Guru dan Dosen. Hal ini seharusnya hanya dikaitkan dengan latar belakang/program studi dari kualifikasi akademik guru yang barsangkutan. Kompetensi professional dan kompetensi pedagogik seorang guru pastilah hanya untuk program studi yang didalami empat tahun  selama pendidikan di LPTK, bukan hasil diklat jangka pendek.Salah satu ciri profesi adalah “advanced training”yang berjangka panjang. Dengan demikian  kebijakan rumpun bidang studi  ini bertentangan dengan  hakekat  profesi yang pada gilirannya akan merugikan pesert didik. Struktur program kurikulum dan kegiatan di lingkungan sekolah tempat guru mengajar itulah yang harus jadi basis tugas guru.Mengharuskan guru mencari tugas tambahan mengajar di luar  satuan administrasi pangkalnya  justru mengurangi tanggung jawab profesionalnya  dan menimbulkan masalah baru yang tidak patut.
 


Semarang, 22 november 2011

Kebijakan yang Membina Guru atau yang Membinasakan Guru

KEBIJAKAN YANG MEMBINA GURU
ATAU  
YANG MEMBINASAKAN GURU

OLEH
SUDHARTO

            Guru adalah sosok manusia yang lemah. Demikian lemahnya sosok seorang guru, sering kali yang bersangkutan mengalami kesulitan  untuk mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya.  Apa lagi jika masalahnya berasal dari  “sang majikan” yaitu Pemerintah bagi guru PNS dan Yayasan bagi guru non PNS ( guru swasta). Kalau masalah itu berasal dari sang majikan jangankan guru  seorang diri, berkelompok  bahkan dengan kekuatan organisasi sekalipun ternyata tetap lemah : permasalahannya tidak mudah terselesaikan; justru bisa berkepanjangan . Sosok guru yang lemah umumnya sangat penurut: apa kata majikan itulah tindakan guru.Peribahasa Raja adil raja disembah raja lalim raja disanggah  tidak bisa berlaku dalam lingkungan  guru. Di lingkungan guru raja lalim pun tetap disembah,titahnya tetap dilaksanakan.Hal ini dikerjakan juga karena terpaksa, terutama jika terkait dengan perut guru, nasib atau hidup matinya guru. Sementara itu jika seseorang berada dalam suasana terpaksa ia akan bekerja sambil memendam rasa kecewa, resah, takut, tidak bisa berkonsentrasi,apatis  yang pada gilirannya akan menurunkan semangat dan produktivitas kerjanya. Demikian  pula halnya seorang guru.Untuk itulah kebijakan tentang guru perlu diupayakan agar tidak mengakibatkan turunnya semangat dan produktivitas guru dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Yang perlu disadari oleh semua pihak adalah bahwa pembinaan itu merupakan proses panjang, berkelanjutan, berbasis konsistensi dan ketekunan oleh semua pihak : guru,pejabat pengelola pendidikan pada aras manapun, kepala sekolah,supervisor, dan masyarakat. Tanpa kesadaran itu berbagai upaya pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kinerja guru bisa juga berubah menjadi “pembinasaan” dalam arti sosok guru tetap ada dan hadir dalam setiap proses pembelajaran tetapi sesungguhnya komunikasi batin antara guru dan peserta didik tidak ada sama sekali. Jika kondisi semacam itu yang terjadi maka proses pendidikan tidak akan ada manfaatnya bagi peserta didik menyongsong  perannya di masa depan.   
            Kontroversi kinerja guru penerima tunjangan profesi
Akhir-akhir ini komunitas guru di seluruh wilayah tanah air  sedang dalam suasana resah gelisah karena mengalami perlakuan  yang membingungkan sebagai akibat ulah “sang majikan” yaitu pejabat di Kemendiknas yang telah , sedang dan akan mengambil kebijakan yang tidak jelas alasan dan rujukannya serta menyinggung rasa keadilan para guru. Kebijakan tersebut berkaitan dengan realisasi hak guru sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Guru dan Dosen. Ketika organisasi guru yang tertua dan terbesar jumlah anggotanya berhasil memperjuangkan Undang-Undang  tentang Guru dan Dosen yaitu UU No 14 tahun 2005, para guru  menyambut dengan penuh harapan dan optimisme. Melalui Undang-Undang ini pekerjaan guru ditingkatkan statusnya  menjadi profesi yaitu pekerjaan yang terhormat,bermartabat dengan persyaratan dan hak-hak tertentu sepadan dengan kedudukan dan fugsinya. Masa depan mereka bakal  berubah, karena kesejahteraan mereka ditingkatkan, perlindungan meraka diperluas dan dijamin,  keprofesionalan mereka  dibina secara berkelanjutan. Tiba saatnya para guru tidak lagi menjadi pelanggan setia bank perkreditan atau koperasi simpan pinjam ketika anaknya masuk ke jenjang pendidikan berikutnya,atau anaknya harus dirawat di rumah sakit,atau guru itu sendiri harus membeayai keperluannya yang mendadak. Sayang praktek pelaksanaanya tidak sebagaimana semangat dan bunyi/ perintah Undang-Undang tersebut. Kebijakan Kemendiknas bukan saja mengabaikan hakekat dan tujuan penetapan guru sebagai profesi, melainkan juga berubah-ubah tanpa alasan yang dapat dipahami akal sehat. Bahkan  kebijakan tersebut terkesan mempersulit realisasi hak-hak guru dan menimbulkan rasa ketidakadilan di antara sesama guru. Lebih-lebih ketika di Kemendiknas terjadi pergantian pimpinan. Mereka menetapkan kebijakan baru berdasarkan persepsi mereka yang dipengaruhi oleh pengalaman mereka,bukan berdasarkan semangat,tujuan dan apa yang yang diperintahkan Undang-Undang Guru dan Dosen. Yang lebih menyakitkan mereka sering mempublikasikan  pernyataan yang menghakimi  dan menyudutkan guru seperti:  tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok yang telah dinikmati oleh sejumlah guru ternyata tidak berdampak pada peningkatan mutu kinerja dan mutu pendidikan. Digambarkan seolah-olah sikap professional mereka jalan di tempat, proses pembelajaran tidak berubah, tidak ada tanda-tanda pembelajaran berbasis IT. Potret  yang ditonjol-tonjolkan  justru perubahan kehidupan sejumlah kecil guru penerima tunjangan profesi yang konsumtif, dengan indikator pembelian   motor atau mobil baru  dan  perabot rumah tangga baru, renovasi rumah dan keperluan pribadi lain.  Digambarkan juga bahwa mereka  sama sekali tidak memanfaatkan dana itu untuk melengkapi diri dengan perangkat pembelajaran yang mampu menampilkan model pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan. Seolah-olah disiplin, motivasi, etos kerja dan mutu kerja mereka tidak berubah. Ada pihak yang menganggap bahwa tunjangan profesi itu tidak ada manfaatnya; mubadir. Itulah potret guru penerima tujangan profesi di mata majikan,sesama teman guru yang kecewa dan iri atau mereka yang tidak mau tau sejarah karier mereka serta kondisi sosio- psikis mereka.
Keadaan seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Disain pembinaan profesi guru harus berbasis pemberdayaan, pemahaman kondisi riel para guru dengan latarbelakang pendidikan guru yang berbeda-beda; bukan pembinaan yang penuh dengan rasa tidak percaya, kecurigaan dan syak wasangka. Pembinaan guru juga harus mempertimbangkan fungsi dan tugas guru yang berbeda dengan fungsi dan tugas dosen.
Harus diakui dengan jujur bahwa kondisi guru sebagaimana diutarakan terdahulu  tidak salah tetapi kondisi tersebut hanya berlaku untuk sejumlah kecil dari guru penerima tunjangan profesi. Dengan kata lain faktanya tidak seperti yang dimuat di media cetak mengutip pernyataan para pejabat. Generalisasinya sangat berlebihan dan tendensius. Guru menjadi korban kebijakan yang tidak tepat, korban ketidakpatuhan Kemendiknas terhadap perintah undang-undang:  No.20/2003; No.14/2005 dan PP.No.74/2008.
Penelitian yang dilakukan oleh Ki Supriyoko pada tahun 2007-2008 atas penugasan Dirjen PMPTK menunjukkaan bahwa sekitar 61% penerima tunjangan profesi telah membeli laptop. Perubahan kinerja guru dalam mengelola pembelajaran berbasis IT tentu tidak seperti membalik telapak tangan.Mereka butuh waktu terutama bagi mereka yang usianya sudah tua. Dengan demikian mengukur kinerja mereka tidak boleh sembarangan. Pengukuran harus memotivasi mereka, bukan menghakimi desain mereka
            Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan
Undang-Undang guru menentukan bahwa serifikasi pendidik dilaksanakan secara obyektif,transparan dan akuntabel (pasal 11 ayat (3) UU No.14/2005). Selanjutnya  PP  No.74/2008 menetukan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan untuk yang  telah memiliki ijasah S1 atau D-IV  dapat langsung mengikuti uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio  yaitu pengakuan atas pengalaman professional guru (ps.12 ayat (1) dan ayat (3)).  Kumpulan dokumen pengalaman professional yang dinilai meliputi : kualifikasi akademik, pendidikan dan latihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas,prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah,  pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan. Diatur juga dalam hal guru yang mengajukan penilaian portofolio belum mencapai persyaratan yang ditentukan. Hal ini diatur pada ayat (5) pasal yang sama. Secara tegas ditentukan bahwa guru tersebut diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan portofolio atau mengikuti pendidikan dan pelatihan diperguruan tinggi yang ditunjuk oleh Pemerintah. Ketentuan ini kalau dilaksanakan dengan konsekuen sesungguhnya akan menjadi motivasi ekstrinsik guru dalam melaksanakan tugasnya. Mereka menjadi bangga dan bersyukur bahwa apa yang selama ini didedikasikan  guru dihargai    oleh Pemerintah. Sebagai umat beragama rasa syukur ini dipastikan dapat mendorong guru untuk bekerja lebih baik agar pada masa yang akan datang rahmat menjadi berlipat ganda.  Sangat disayangkan pelaksanaannya tidak seperti yang seharusnya. Tidak konsisten, gonta-ganti kebijakan yang membuat guru bingung : portofolio, portofolio tanpa kesempatan untuk memperbaiki,diikuti PLPG model “one for all” bagi yang gagal portofolio, portofolio dengan “trick” target kelulusan,diikuti PLPG “model loka karya”. Mulai tahun 2012 akan ada upaya yang lebih dahsyat yang semakin mengecewakan, menebalkan rasa ketidakadilan para guru, meresahkan dan menimbulkan sikap apatisme. Untuk dapat mengikuti PLPG  tahun 2012 guru harus menempuh tes potensi akademik (TPA). Jika tidak lulus hak untuk ikut PLPG gugur. Sungguh semakin jauh penyimpangan Kemendiknas dalam melaksanak perintah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan-kebijakan lain yang tidak sesuai dengan semangat Undang-   Undang guru dan Dosen
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Guru dan dosen anatara lain dinyatakan bahwa guru dan dosen memilik fungsi, peran  dan kedudukan strategik dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu menghadapi persaingan antar bangsa yang semakin ketat. Untuk itulah guru ditetapkan sebagai jabatan professional yang berfungsi untukmeningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran yang antara lain berperan sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, pemberi inspirasi belajar. Proses sertifikasi, sertifikat profesi dan tunjangan profesi dimaksudkan agar guru dan dosen memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Semangat inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh guru dan para pengambil kebijakan pada tingkat manapun. Mereka yang sudah berstatus sebagai guru bertahun-tahun mengabdi harus diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dengan memperoleh sertifikat  profesi dan kemudian menerima haknya berupa tunjangan profesi. Resiko berikutnya pemerintah harus mengatur dengan sunggug-sungguh agar mereka meningkat kemampuan profesionalnya . Bukan sebaliknya seperti nampak dalam sejumlah kebijakan yang selama ini dikembangkan.
            Kebijakan lain yang tidak sesuai dengan semangat , makna dan perintah undang-undang guru dan dosen adalah  tugas tambahan untuk memenuhi beban mengajar guru sekurang-kurangnya 24 (duapuluh empat jam) tatap muka sebagaimaana diatur dalam ayat (2) pasal 35 Undang_undang Guru dan Dosen. Hal ini seharusnya hanya dikaitkan dengan latar belakang/program studi dari kualifikasi akademik guru yang barsangkutan. Kompetensi professional dan kompetensi pedagogik seorang guru pastilah hanya untuk program studi yang didalami empat tahun  selama pendidikan di LPTK, bukan hasil diklat jangka pendek.Salah satu ciri profesi adalah “advanced training”yang berjangka panjang. Dengan demikian  kebijakan rumpun bidang studi  ini bertentangan dengan  hakekat  profesi yang pada gilirannya akan merugikan pesert didik. Struktur program kurikulum dan kegiatan di lingkungan sekolah tempat guru mengajar itulah yang harus jadi basis tugas guru.Mengharuskan guru mencari tugas tambahan mengajar di luar  satuan administrasi pangkalnya  justru mengurangi tanggung jawab profesionalnya  dan menimbulkan masalah baru yang tidak patut.
            Mudah-mudahan para pihak terkait menyadari status dan peran masing-masing karena sesungguhnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama; tanggung jawab seluruh elemen bangsa; semua harus diberdayakan.